Rayya
Waktu berlalu begitu cepat. Setiap hari, aku disibukkan dengan persiapan pernikahan yang tak ada habisnya. Meski pernikahanku sederhana, tetap saja ada banyak yang harus diurus.
Aku beruntung sudah berhenti bekerja, sehingga bisa mencurahkan seluruh waktu untuk mempersiapkan pernikahan ini. Harris tidak lepas tangan. Dia tetap ikut mengurus, semampu yang dia bisa, di sela jadwal pekerjaannya yang menyita waktu.
Di sela-sela persiapan pernikahan, aku selalu memikirkan ide Harris. Keinginan membuka toko kue semakin menggebu-gebu. Hal itu turut mempengaruhi keputusanku untuk tidak terlalu ngotot mencari pekerjaan baru. Entahlah, aku merasa bekerja kantoran tidak lagi terasa menyenangkan.
Karena dari awal, itu bukan panggilan jiwaku.
Suara riuh tepuk tangan menyita perhatianku. Aku mengikuti sumber keriuhan ini. Di aula, Olivia selesai memajang hasil karyanya. Wall art yang terbuat dari kawat, membentuk hiasan abstrak yang tidak kumengerti. Jiwa seniku benar-benar memprihatinkan. Olivia ditunjuk kampusnya sebagai salah satu mahasiswa terbaik. Hasil karyanya turut dipajang di pameran kampus. Karya itu kini menghiasi dinding panti. Meski begitu, aku tetap tidak bisa menangkap makna dari wall art tersebut.
Namun yang pasti, kehadiran wall art tersebut memberi warna berbeda di panti. Aku dan Harris terperangah saat mendengar Olivia mau menyumbangkan karya seni tersebut ke panti.
Menjelang pernikahanku, hubunganku dan Olivia kian dekat. Jika Harris tidak bisa, Olivia yang menemaniku. Dia meminta agar pernikahan diadakan di saat dia liburan karena dia tidak mau ketinggalan momen spesial di hidup ayahnya.
Penerimaan Olivia membuatku semakin yakin menapak kehidupan berumah tangga dengan Harris.
Sementara hubunganku dan Marthin masih dingin. Setidaknya aku lega karena Marthin tidak lagi menghindari ayahnya. Dia berubah banyak, terlihat lebih dewasa. Mungkin hubunganku dan Marthin tidak akan pernah bisa seperti hubunganku dan Olivia. Meski begitu, aku merasa ini sudah cukup.
"Belakangan, panti jadi makin ramai. Ada banyak volunteer yang datang." Bu Airin tiba-tiba berada di dekatku. "Temanmu jadi mengadakan workshop di sini minggu depan."
Teman yang dimaksud Bu Airin adalah Mala. Selepas kena layoff, Mala menjalani hobi merangkai bunga sembari merawat anaknya yang baru lahir. Hobi itu berkembang menjadi bisnis flower shop. Mala sempat menghubungiku, bertanya apakah dia bisa mengadakan acara sosial di panti ini. Mala ingat soal panti dari ceritaku selama kami bekerja. Aku menghubungkan Mala dengan Bu Airin.
"Kamu sudah bekerja lagi, Rayya?" Tanya Bu Airin.
Aku menggeleng. "Aku masih bingung mau bekerja lagi atau buka toko kue."
"Saya sering cerita soal kamu kepada pemilik yayasan. Mereka menyukaimu. Apalagi, karena kamu minggu depan ada workshop merangkai bunga. Kegiatan itu dibutuhkan di panti," ujar Bu Airin.
"Aku cuma ngasih kontak Bu Airin ke Mala."
Bu Airin tertawa. "Kamu memang selalu merendah. Omong-omong, kalau kamu tidak bekerja lagi, pihak yayasan ingin mengajakmu bekerja sama."
Aku menatap Bu Airin dengan kening berkerut.
"Ada beberapa panti di bawah yayasan ini. Termasuk panti asuhan dan panti rehabilitasi penyalahgunaan narkorba. Pihak yayasan merasa penting untuk mengadakan kegiatan positif yang bisa dilakukan penghuni panti. Seperti workshop minggu depan." Bu Airin menatapku dengan senyum penuh arti. "Saya merekomendasikan kamu dan mereka setuju. Nanti mereka akan menghubungimu secara resmi, saya cuma ingin memberi kisi-kisi. Pihak yayasan butuh seorang project coordinator dan kamu cocok untuk posisi itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...