39. Jealousy

13.1K 923 17
                                    

Rayya

Bagus. Hujan di sore hari selalu jadi momok bagi pekerja kantor yang membutuhkan kendaraan umum sepertiku. Meski ada payung, tapi tidak bisa melindungi tubuhku dari guyuran angin. Aku tidak mungkin memesan ojek online. Meski memakai jas hujan, tetap saja aku kuyup saat sampai di kos. Memesan mobil juga bukan pilihan karena tarifnya yang mahal akibat macet.

Kantorku sudah kosong sehingga kuputuskan untuk menunggu di lobi. Setidaknya sampai hujan sedikit reda.

Sesampainya di lobi, aku dihadapkan pada kenyataan banyak yang sama sepertiku. Luntang lantung karena hujan.

Aku mengeluarkan handphone dari dalam tas dan langsung mengutuk kebodohanku. Kenapa aku lupa mengisi ulang daya batrai? Sekarang handphone itu dalam keadaan mati total. Aku tidak bisa memesan ojek atau taksi online. Satu-satunya pilihan adalah menunggu hujan sedikit reda sehingga aku bisa jalan kaki menuju halte MRT Senayan.

"Rayya."

Aku tersentak saat mendengar seseorang memanggil namaku. Sebuah mobil berhenti di depanku.

Marthin.

"Ayo, masuk. Aku antar."

Aku menggeleng, tidak enak hati kalau menerima ajakan Marthin.

"Hujannya bakalan awet. Sini aku anterin."

Tawaran yang menggiurkan, tapi aku pasti akan merasa canggung berada di mobil yang sama dengan Marthin.

"Aku naik MRT. Kamu duluan aja," tolakku.

"Ayolah. Kos kamu kan searah apartemenku." Marthin bersikeras.

Bunyi klakson membuat keadaan riuh. Marthin berhenti cukup lama, mengakibatkan antrean panjang di belakang mobilnya. Dari sudut mata, aku melihat satpam bergerak menghampiri. Segera saja aku naik ke mobil Marthin sebelum menyebabkan keributan lebih.

"Thanks, ya."

"No probs." Marthin menyalakan mesin mobilnya.

Aku menatap sekeliling. Ini bukan mobil Marthin yang biasanya. "Mobilmu ganti?" Tanyaku.

"Ini mobilnya Vega. Karena dia cuti, jadi mobilnya kupinjam."

Aku ingat siapa Vega, salah satu teman Marthin yang diam-diam menyukainya. Vega pernah memojokkanku, menganggap aku tidak pantas untuk Marthin. Dia pasti sangat menyukai Marthin, sampai mau meminjamkan mobil.

"Mobilmu rusak?" Tanyaku.

"Sudah aku jual."

"Hah?"

Marthin melirikku sekilas. "Bulan depan aku mau liburan ke Eropa sama teman-temanku. Tabunganku enggak cukup dan Papa lagi berulah, ya sudah aku jual mobil aja."

"Berulah gimana?"

"Sejak punya pacar baru, Papa jadi pelit." Marthin menjawab enteng.

Perutku melilit mendengar jawaban Marthin.

"Papamu punya pacar?" Pancingku.

"Waktu aku ke rumahnya, aku lihat baju perempuan di sana. Enggak nyangka aja Papa sudah tua begitu tapi masih punya tenaga." Marthin terkekeh.

Aku membuang muka ke luar jendela, tidak ingin Marthin menangkap semu merah di wajahku.

"Aku enggak tahu siapa dia, tapi yang pasti aku enggak suka sama dia. Papa jadi pelit begitu pasti karena pacar barunya minta macam-macam," ketus Marthin.

Aku ingin membantah, bahwa Marthin salah. Aku tidak pernah meminta apa-apa dari Harris. Namun aku tidak mungkin mengutarakannya, jadi yang kulakukan hanyalah diam dan menelan tuduhan itu.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang