3. Night at Helix Bridge

26.6K 1.6K 51
                                    

Pekerjaan mengharuskanku untuk ke Singapura, setidaknya sekali dalam sebulan. Bisa saja hari ini aku berada di Jakarta dan mendapat panggilan dadakan ke Singapura. Karena itu, paspor harus selalu stand by di dalam tas.

Aku bekerja sebagai performance marketing di sebuah agensi digital yang khusus dibentuk untuk menjalankan semua digital marketing da sosial media untuk perusahaan OTT internasional yamg menjadikan Singapura sebagai hub untuk pasar Asia. Creative Maker, agensi tempatku bekerja, menjadi perwakilan Streamflix, OTT yang saat ini menempati pasar nomor satu di industri ini. Mereka punya pasar besar di Indonesia, tapi masih enggan membuka kantor di sini karena regulasi dan lainnya. Jadi mereka hire satu tim khusus untuk menjalankan bisnis di Indonesia dan berpusat di Singapura. Creative Maker dibuat sebagai supporting untuk tim Indonesia. Orang-orang tahunya aku bekerja di Streamflix, nyatanya aku hanya pihak ketiga yang sengaja dibuat untuk mendukung bisnis mereka di sini.

Mungkin suati hari nanti aku akan menjadi karyawan Streamflix, kalau desas desus mereka akan ekspansi pasar ke Indonesia terwujud. Indonesia memiliki pasar yang unik, dibutuhkan tim lokal untuk mengerti dan menangkap selera pasar yang berubah-ubah secara drastis. Bule-bule di Streamflix selalu dibuat pusing oleh pasar Indonesia yang susah dimengerti.

Malam ini, aku memutuskan untuk menyendiri sementara teman-temanku sudah bar crawling di Clarke Quay. Aku tidak punya tenaga untuk pindah dari satu bar ke bar lain.

Bukan fisikku yang lelah, melainkan mental dan beban pikiran. Pagi tadi, aku bertengkar hebat dengan Marthin. Dia bersikeras untuk mengantarku ke bandara. Dia tidak menerima penolakan. Pasalnya, semalam dia lembur sehingga kesiangan dan telat menjemput. Aku putuskan berangkat sendiri karena tidak mau ketinggalan pesawat. Marthin yang sudah sampai di kost dan menyadari aku tidak ada, langsung memborbardirku di telepon.

Kalau aku menunggunya, aku akan ketinggalan pesawat. Marthin tidak memikirkan domino effect yang ditimbulkan. Jadi dia menjalankan aksi ngambek karena aku enggan untuk minta maaf. Di matanya, aku tidak menghargainya.

Kenyataannya, Marthin yang tidak menghargaiku.

Dering ponsel menyita lamunanku. Aku mendesah saat melihat nama Marthin di sana. Sempat ada pikiran untuk mengabaikanbya tapi aku merasa itu tindakan yang kekanak-kanakan.

Dengan berat hati, aku mengangkat telepon itu.

"Hai, Babe. Kamu di mana?"

Aku butuh waktu untuk mencerna nada bicara Marthin. Dia terdengar ringan, seolah tak ada masalah di antara kami.

"Udahan ngambeknya?" Tembakku.

Marthin tertawa. "Ngapain, sih, ngambek? Childish banget kamu."

Jadi sekarang aku yang childish karena di matanya, aku yang ngambek?

Aku jadi makin tidak mengerti dengan jalan pikiran Marthin.

"Babe, kamu balik besok, kan?" Tanyanya.

"Ya," sahutku singkat.

"Kacamataku hilang, ketinggalan di MRT. Enggak tahu deh itu orang kurang kerjaan, nemu barang orang malah diembat bukannya dibalikin," gerutu Marthin.

Aku tahu kacamata yang dimaksud. Sunglasses Gentle Monster hadiah dariku di ulang tahunnya dua bulan lalu. Marthin sangat menyukai kacamata itu. Aku pun, karena kacamatanya ringan dan enak dipakai.

"Mau aku beliin di sini?" Aku menatap Marina Bay Sand di belakangku. Masih ada waktu untuk berbelanja kalau Marthin nitip minta dibeliin.

"Aku udah minta Papa buat beliin. Dia lagi di Singapura." Marthin menjawab. "Masalahnya, besok Papa terbang ke Paris jadi kalau nunggu Papa pulang bakal lama banget. Aku butuh, tahu sendiri Jakarta panasnya kayak apa."

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang