4. When I Say No

21.1K 1.4K 28
                                    

"Thank you, Babe." Marthin langsung mencoba kacamata yang dititipkan Om Harris kepadaku. "Awalnya aku skeptis nitip Papa. Takut salah beli. Tahu sendiri orangtua gimana, suka ignorance sama yang dimau anaknya."

Aku menatap Marthin dengan kening berkerut. Entahlah, aku merasa dia terlalu mendiskreditkan Om Harris.

"Capek?" Tanya Marthin. Dia meletakkan kacamata barunya di atas meja kerjaku sebelum beringsut mendekatiku.

Hari ini, Marthin menepati janjinya. Dia menjemputku ke kantor. Aku sudah tidak lagi mau berharap banyak kepada Marthin. Sudah cukup selama ini aku dibuat kecewa olehnya.

Marthin mengantarku pulang ke kos. Dia sendiri menyewa apartemen di Kuningan, tidak begitu jauh dari tempatku. Marthin sering mengajakku ke apartemennya, tapi aku tidak pernah menyetujui. Akibatnya, Marthin yang lebih sering berada di tempatku.

Tangannya terulur untuk memijat pundakku. Senyum terkembang di bibirku saat tangan Marthin yang terampil membuat pundakku yang tegang menjadi sedikit relaks.

"Tadinya aku mau booking Mbak Ika, tapi hari ini dia full," tukasku. Mbak Ika, terapis langgananku, yang selalu menjadi jalan keluar ketika tubuhku sudah terlalu capek.

"Aku memang enggak punya sertifikasi kayak Mbak Ika, tapi kalau cuma pijat pundak aja bisalah," timpal Marthin.

Aku tergelak. Pijatannya memang tidak senyaman terapis profesional, tapi lumayan membantu saat aku butuh.

Pijatan Marthin di pundakku mulai berubah pelan. Tak lama, aku merasakan embusan napasnya di leherku.

Kewaspadaanku langsung terpanggil.

Tubuhku menegang ketika Marthin mulai meninggalkan ciuman ringan di leherku. Pijatannya pun terlupakan karena kini Marthin lebih suka menciumku.

Marthin memutar wajahku hingga berhadapan dengannya. Tak lama, bibirnya mengunciku.

Ciuman pertamaku dengan Marthin terjadi di kencan kedua. Saat itu, tidak ada kepak sayap kupu-kupu yang membuat perutku terasa tidak nyaman. Setelahnya, ciuman bersama Marthin hanya sebatas ciuman saja. Tidak ada rasa menggebu-gebu yang membuatku ingin menyecapnya lebih lama.

Like a textbook kiss.

Ciuman yang terlalu berhati-hati, seolah Marthin memikirkan apa yang seharusnya dilakukannya. Dan aku pun melakulan hal yang sama saat membalas ciuman Marthin. Mengkalkulasikan setiap tindakanku.

Aku menginginkan ciuman menggebu-gebu yang membuat otakku berhenti berpikir barang sejenak dan menikmati ciuman itu.

Aku mengharapkan ciuman yang bisa memantik perasaan terdalamku untuk menginginkan lebih.

Marthin melepaskan bibirku sebelum beralih ke leherku. Another textbook kiss.

"Babe, sudah berubah keputusan?" Bisik Marthin.

Aku mengerti keputusan apa yang dimaksud Marthin.

Di saat hubunganku dengannya menginjak bulan ketiga, Marthin mulai menginginkan hubungan lebih. Dia jadi lebih sering menyentuhku, menciumku di bagian tubuhku yang lain selain bibir. Aku tahu di mana keinginan itu berlabuh.

Seks.

Marthin secara gamblang meminta ketika setiap permintaan tersiratnya tidak kutanggapi. Aku bersikap pura-pura tidak tahu meski sebenarnya mengerti apa yang diinginkannya.

Aku menolak permintaannya.

Bagiku, seks bukan sesuatu yang bisa dilakukan begitu saja. Aku menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral. Bukan hanya menyatukan dua tubuh, tapi juga dua hati.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang