9. Kenangan Lau Pa Sat

19K 1.5K 33
                                    

Lau Pa Sat yang ramai, memberikan suasana berbeda dari Singapura. Bangunan klasik yang riuh oleh suara orang bercakap-cakap, dan aroma makanan yang membuat perutku keroncongan. Untung saja kehebohan di sekitar bisa menyembunyikan bunyi perutku.
"Aw..." Aku terhuyung ketika ada yang menyenggolku secara tidak sengaja.
Om Harris menahan lenganku agar tidak terjatuh. Aku beradu dengan dadanya, membuatku berada di dalam dekapannya.
Keriuhan di sekitar tidak akan sanggup menyembunyikan debar jantungku.
"Kita cari tempat kosong dulu." Om Harris tidak melepaskanku. Dengan posisi setengaj mendekapku, dia mengajakku melintasi orang-orang yang memadati area kuliner ini.
Mataku tidak beranjak dari tangan Om Harris yang memegang pundakku dengan protektif.
Om Harris cuma enggak mau aku disenggol dan jatuh lagi. Ini hanya tindakan ringan. Tidak ada arti lebih di balik tindakannya ini.
Meski aku berusaha memasukkan pemahaman tersebut ke dalam benakku, nyatanya aku tidak bisa menahan debaran di dadaku. Ada kehangatan menjalari hatiku ketika mendapati perhatian seperti ini.
Yang dilakukan Om Harris hanyalah memberikan perhatian kecil, hanya hatiku yang terlalu lemah sehingga menganggap perhatian kecil sebagai sesuatu yang sangat berarti.
"Ada tempat kosong tuh." Om Harris menunjuk dua meja yang tidak jauh di depan.
Begitu sampai di meja tersebut dan Om Harris melepaskan dekapannya, hatiku mencelus. Rasanya ada yang hilang. Aku malah menginginkan dekapan itu lagi.
"Kamu mau makan apa?" Tanya Om Harris.
Mataku memandang sekeliling. "Enaknya apa?" Aku balik bertanya.
"Banyak. Semua yang ada di sini enak-enak, terlebih sate seafood."
"Aku pesan itu aja kalau begitu," jawabku.
"Kamu tunggu di sini," cegah Om Harris begitu aku ikut berdiri. "Jagain meja, nanti ada yang nempatin."
Sebelum menunggu balasanku, Om Harris sudah menghilang ke balik kerumunan warga Singapura yang makan malam di sini.
Saat ditinggal sendiri, aku berkesempatan nemikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku merasa ini sebagai kencan?
Aku menggeleng kencang, mengusir pemikiran barusan. Ini hanya makan malam biasa. Bukan kencan.
Aku tidak mungkin kencan dengan Om Harris. Dia ayahnya Marthin, mantan pacarku. Mengapa aku malah berpikir sedang kencan dengan ayah mantan pacarku?
Sekalipun dia bukan ayahnya Marthin atau Marthin bukan mantan pacarku, tetap saja ini bukan kencan. Om Harris jauh lebih tua dariku, tidak mungkin aku kencan dengan pria yang lebih pantas jadi ayahku.
Ini pasti karena aku sedang berada di titik terlemah. Aku masih membiasakan diri dengan status baru setelah putus dari Marthin. Di saat lemah seperti ini, aku seringkali merasa tidak berdaya. Sehingga pemikiran yang tidak seharusnya ada, bisa mengacaukan kepalaku.
Apalagi, aku sangat mengharapkan perhatian. Marthin membuatku mempertanyakan seperti apa hubungan yang seharusnya. Selama bersama Marthin, aku seringkali menelan kecewa dan mengais sebuah perhatian. Tidak heran jika aku begitu lemah saat ini.
Tidak ada penjelasan lain yang lebih masuk akal.
Namun, ketika Om Harris kembali sambil membawa piring berisi makanan, melewati kepadatan di tempat ini, tak ayal hatiku kembali menghangat.
Om Harris membuatku kembali berani berharap, bahwa masih ada pria di luar sana yang bisa memperlakukan perempuan dengan baik.
***

"Kamu kerja di mana?" Tanya Om Harris, di sela kunyahannya.
"Performance Marketing di agensi yang memegang StreamFlix," jawabku.
Om Harris tertawa kecil. "Zaman sekarang makin banyak title pekerjaan yang saya enggak paham. Waktu Marthin mau ambil kuliah IT, saya enggak kepikiran soal pekerjaannya sekarang."
"Generation gap," timpalku sambil tertawa kecil.
Om Harris mendecakkan lidah sebelum ikut tertawa bersamaku.
Sedikit pun, aku tidak menyangka bisa terlibat pembicaraan dengan Om Harris. Tidak ada satu pun kesamaan yang kumiliki dengannya. Satu-satunya penghubung dengan Om Harris hanya Marthin, dan aku enggan membicarakan Marthin.
Nyatanya, obrolan dengan Om Harris berjalan lancar. Awkward moment yang sempat menjadi kekhawatiranku, tidak terbukti. Om Harris bercerita banyak soal Singapura karena dia pernah tinggal lama di sini, juga soal perjalanan lainnya. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Dengan makanan yang selalu datang silih berganti, dan cerita demi cerita yang mengalir tanpa henti.
"Kenapa kamu mau jadi pramugari?" Tanya Om Harris.
"Kelihatannya keren. Mereka selalu tampil cantik dan aku suka melihatnya. Pastinya sih bisa jalan-jalan," jawabku.
"Sekarang pun kamu juga bisa jalan-jalan gratis. Sudah dua kali dalam bulan ini kamu ke Singapura." Om Harris menimpali.
Aku mengangguk sambil mengunyah makananku. "Kali pertama keluar negeri waktu aku bekerja di kantor ini. Aku kelabakan membuat paspor. Sebelumnya enggak ada, karena menurutku mustahil aja bisa ke luar negeri?"
Om Harris meneguk root beer di gelasnya. "Kenapa?"
"Aku enggak bilang hidupku berkekurangan, tapi jalan-jalan keluar negeri suatu kemewahan untukku. Setelah aku kerja, uangku ditabung untuk biaya Mama di panti," jawabku.
Ada getar di hatiku saat membicarakannya. Selama ini aku selalu berhati-hati karena tidak semua orang bisa menerima keputusanku meninggalkan Mama di panti jompo.
Aku meneliti Om Harris, mencoba mencari tahu tanggapannya. Tidak ada judgement di matanya. Dia juga tidak bersikap acuh, seperti halnya Marthin.
"Sejak Papa meninggal, aku berdua saja dengan Mama. Mama sudah tua dan butuh caretaker. Aku enggak bisa karena kerja, makanya terpaksa banget ninggalin Mama di panti agar ada caretaker," lanjutku.
"Keputusan yang bijak."
Tanggapan Om Harris membuatku terpaku.
"Saya lebih memilih di panti karena ada teman dan enggak membebani anak-anak," lanjutnya.
Aku memainkan ujung sedotan. Selalu ada perasaan bersalah setiap kali membahas situasi yang membelitmu.
"Kamu pasti ingin merawat ibumu," ujar Om Harris dan aku mengangguk di hadapannya. "Kalau situasimu sedikit longgar, kamu akan punya waktu lebih dengan beliau.
Refleks, aku menghela napas panjang. Aku tidak tahu apakah masa seperti itu akan datang.
"Lagipula, ini bentuk tanggung jawabmu."
Penuturan Om Harris sama seperti yang selalu ditekankan Mama. Hanya saja aku sengaja tidak menerima kebenaran itu dan membiarkan perasaan bersalah selalu menggigitku.
"Ya, aku harus bisa berpikir seperti itu," sahutku, lebih menekankan kepada diriku sendiri.
Om Harris tersenyum. Meski di bawah penerangan seadanya, senyum itu tetap mengalirkan kehangatan ke dalam hatiku.
"Kamu punya negara impian untuk dikunuungi?" Om Harris mengalihkan pembicaraan.
"Ada sih tapi enggak yakin bisa ke sana." Untuk saat ini, jalan-jalan ke luar negeri masih menjadi suatu kemewahan.
"Enggak ada salahnya buat berandai-andai."
Aku menopang tangan di dagu, membiarkan pikiranku berkelana jauh tanpa terhambat oleh kenyataan yang ada.
"Jepang, Korea, aku juga mau keliling Eropa, road trip di New Zealand dan yang ekstrem seperti ke Nepal dan Bhutan." Aku terkekeh,  menertawakan khayalanku sendiri.
"Wow, pilihan yang menarik."
"Om pernah ke sana?" Tanyaku.
Om Harris mengangguk. "Kecuali Nepal dan Bhutan."
Selama beberapa saat, aku membiarkan khayalan itu berkembang. Aku membayangkan diriku berada di Jepang menikmati Sakura bermekaran. Atau menikmati teh sore yang hangat di taman-taman di London.
Namun, aku tidak berlama-lama memanjakan diri dengan khayalan tersebut.
"Saya sering dapat jadwal ke Jepang. Mungkin suatu hari nanti kamu bisa ikut di penerbangan itu."
Senyumku terkembang. "Boleh masuk ke kokpit lagi?"
Om Harris tergelak. "Bisa diatur."
Malam ini, aku mengizinkan diriku bermimpi terlampau jauh--terbang bersama Om Harris ke Jepang.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang