Rayya
Psikosomatis yang kurasakan membuat hari Minggu terasa berlalu begitu cepat. Aku selalu berdoa semoga Senin tidak segera datang, tapi ketika detik demi detik berlalu dan akhir pekan segera usai, dentuman di kepalaku semakin menjadi-jadi.
"Kamu enggak mau ke rumah sakit?" Tanya Mama, untuk ke sekian kalinya, karena melihatku bergelung seharian di tempat tidur.
Aku menggeleng. Aku tahu penyebab sakit kepala ini. Semua obat dari dokter tidak akan bisa mengatasinya.
Bunyi ketukan di pintu mengalihkan perhatian Mama. Aku melirik jam di handphone, baru pukul tujuh malam. Namun tidak biasa-biasanya kami menerima tamu. Tidak banyak yang tahu soal alamat ini, dan tidak banyak kenalan baru di Bandung yang berkunjung.
"Mama bukain pintu dulu." Mama beranjak meninggalkanku di kamar.
Aku berniat untuk kembali tidur ketika seruan Mama menyentakku.
"Harris?"
Mataku sontak terbeliak. Aku menatap ke pintu kamar yang terbuka, berharap aku salah dengar. Jantungku berdebar kencang menunggu suara yang sangat kurindukan.
"Malam, Ma. Maaf saya datang malam-malam begini."
Seolah ada yang menonjok hatiku saat mendengar suaranya. Dorongan untuk berlari keluar kamar dan memeluknya begitu besar, membuatku harus mengerahkan segenap daya untuk melawan dorongan tersebut.
"Rayya ada, Ma?"
Sekali lagi, hatiku mencelus saat mendengar namaku keluar dari mulutnya. Rasanya ingin berteriak memanggilnya.
"Ada di kamar. Lagi sakit kepala."
Aku sengaja memejamkan mata rapat-rapat. Pura-pura tidur jauh lebih baik ketimbang menghadapi Harris. Sama-samar, aku mendengar bunyi langkah kaki mendekati kamarku.
Aku mencengkeram ujung selimut erat-erat. Aku butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatian agar tidak melompat ke pelukan Harris.
I miss him so much.
"Sayang..." Aku merasakan sisi tempat tidurku melesak ketika ada beban yang mendarat di sana.
Harris.
Tangisku hampir tumpah saat merasakan sentuhan di rambutku. Sentuhan yang sangat kurindukan. Hanya dengan sentuhan ringan itu saja, perlahan deru di kepalaku perlahan menghilang.
"I miss you, Yaya."
Aku semakin memejamkan mata rapat-rapat ketika merasakan kecupan Harris di sisi kepalaku.
Iwanttokisshim!!!
Rasanya ingin meminta Harris untuk menciumku, untuk mengusir semua beban di hidupku. Namun aku tidak bisa melakukannya. Menghadapi Harris hanya membuat upayaku selama ini sia-sia. Hanya membuatku semakin berkubang dalam patah hati.
"Kamu istirahat, ya. Aku bahagia akhirnya bisa bertemu kamu lagi." Kembali, aku merasakan kecupan di kepalaku. "Aku mencintaimu, Yaya. Sangat mencintaimu. Jangan pernah kamu lupa akan hal itu."
Aku masih memejamkan mata saat merasakan Harris beranjak. Begitu mendengar bunyi pintu ditutup, tangisku langsung tumpah.
***
Langkahku terhenti di pintu kamar saat melihat Harris berada di rumah. Secangkir kopi hangat ada di meja di hadapannya. Dari selimut yang terlipat di sofa, aku yakin semalan dia menginap. Pasti tidak nyaman tidur di sofa kecil yang tidak bisa menampung tubuh tinggi Harris.
"Aku antar ke kantor, ya."
Aku sudah membuka mulut untuk menolak, tapi permohonan yang terpancar di mata Harris membuatku tergugu.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...