50. Salahku Mencintaimu

8.3K 757 15
                                    

Harris

"Selamat malam, dengan Yayasan Kasih Ibu ada yang bisa dibantu?"

Aku membenarkan posisi earbuds sambil terus berkonsentrasi dengan jalanan di hadapanku. "Selamat malam, apa saya bisa bicara dengan Bu Rahma?" Tanyaku.

Rayya tidak mengangkat teleponku. Dia juga tidak ada di kos, sehingga satu-satunya tempat yang terpikir olehku adalah panti tempat ibunya dirawat. Ada bagian panti yang bisa disewa harian, biasanya diperuntukkan bagi keluarga yang menginap.

"Ini dengan siapa?"

"Harris."

"Sebentar ya Pak Harris."

Aku menunggu dengan gelisah. Sampai aku memarkir mobil di basement tempat apartemen Marthin berada, aku masih menunggu. Panik melanda, bagaimana kalau Mama tidak mau bicara denganku? Aku pernah berjanji kepadanya untuk menjaga Rayya, tapi sekarang aku malah menyakiti Rayya.

"Harris?"

Aku refleks melepaskan napas lega saat suara yang sudah akrab denganku terdengar di seberang sana.

"Selamat malam, Ma."

"Ada apa, Harris?"

Mulutku sudah terbuka, tapi ragu mendadak melanda. Bagaimana kalau Rayya tidak datang ke sana, teleponku hanya membuat Mama jadi panik.

Namun aku tidak bisa mundur lagi.

"Rayya ada di sana, Ma?" Tanyaku.

"Tadi Rayya menelepon Mama, bilang mau ke sini. Tapi dia belum sampai. Kenapa, Harris?" Jawaban Mama membuatku kembali menghela napas lega.

"Enggak ada apa-apa, Ma. Saya cuma mau mastiin Rayya sudah sampai apa belum, soalnya Rayya enggak mengangkat telepon saya," sahutku.

"Nanti kalau Rayya sudah sampai, Mama minta dia menghubungimu."

Aku mengusap kening untuk meredakan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi.

"Terima kasih, Ma."

Keheningan membentang. Seharusnya aku menyudahi panggilan telepon ini, tapi urung karena ada hal yang mengganjal.

"Kalian baik-baik saja?"

Pertanyaan Mama membuat hatiku mencelus. "Kami baik-baik saja, Ma." Jawaban ini tak lebih dari sebuah harapan, bahwa hubunganku dan Rayya baik-baik saja.

"Ya sudah, nanti Rayya telepon kamu."

"Makasih, Ma. Selamat malam." Hampir saja aku mematikan panggilan itu, tapi urung ketika Mama memanggilku. "Ya, Ma?"

"Mama cuma mau bilang, dari semua laki-laki yang pernah dekat dengan Rayya, kamu yang terbaik, Harris. Tolong jaga Rayya, ya."

Lidahku mendadak kelu saat mendengar pernyataan itu. Aku mengucapkan persetujuan dengan pelan, karena emosi yang tiba-tiba mengusik.

Aku sangat berharap pernyataan Mama benar adanya.

***

Marthin tidak menganggap kehadiranku. Dia tidak bicara kepadaku, bahkan tidak sudi menatapku.

"Marthin, kamu harus bicara pada Papa." Aku berdiri di sampingnya, sementara Marthin sibuk main game.

Aku kembali memanggil namanya, dan Marthin masih tidak menanggapiku. Ketika aku merebut game controller dari tangannya, Marthin melayangkan tatapan penuh permusuhan kepadaku.

Rasanya seperti ketika dia masih kecil dulu, ketika aku terpaksa mengambil mainannya.

"Papa ngapain di sini?"

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang