Rayya
"Gimana pekerjaanmu?"
Aku berusaha tersenyum dan menampakkan wajah bahagia di hadapan Mama. Terlalu sering melakukannya membuatku jadi terlatih memasang senyum palsu untuk mengelabui Mama.
"Menyenangkan. Aku juga sudah punya teman." Jawabanku selalu sama setiap kali Mama bertanya.
Kenyataannya sangat jauh dari itu. Baru dua minggu, tapi rasanya seperti sudah dua tahun. Setiap pagi menjadi perjuangam yang berarti untukku. Sulit rasanya untuk mengangkat tubuh dan memaksa kaki melangkah keluar rumah.
Aku sudah menurunkan ekspektasi akan pekerjaan ini, tapi kenyataan jauh lebih buruk. Alur kerja yang tidak jelas hanya salah satu dari hal yang memberatkanku untuk bertahan di kantor itu.
Baru dua minggu, Rayya. Jangan menyerah.
Itu mantra yang selalu kuucapkan dan membantuku melewati hari.
Rekan kerja juga tidak menolong. Malah sebaliknya. Semakin lama, aku makin enggan berhadapan dengan mereka. Sebelum mengenalku, mereka sudah telanjur menganggapku sebagai anak kota yang sulit diajak bekerjasama.
"Seru kerjaannya?"
Aku mengangguk. Di balik posisi sebagai performance marketing manager, nyatanya pekerjaanku tak lebih dari sekadar admin media sosial yang sehari-hari hanya upload konten dan repost jika ada yang tag akun brand yang kupegang.
Ketika aku mengajukan ide untuk membahas strategi, atasanku, Kang Iman, langsung menepis gagasan.
"Kamu kerjain aja deh, Ray. Urusan strategi biar jadi urusannya Kang Iman sama si Dewa." Itu salah satu bentuk penolakan yamg kuterima. Belakangan kuketahui bahwa rapat strategi yang mereka adakan tak lebih dari omong kosong belaka.
"Mama diminta bantu-bantu di PAUD. Cuma tiga kali seminggu." Mama memberitahu.
Aku meletakkan sendok di atas piring yang tadinya beriai lontong sayur tapi sekarang sudah habis. "Mama enggak capek?"
Mama menggeleng. Mungkin Mama melakukan hal yang sama denganku, berusaha menampakkan dirinya baik-baik saja agar aku tidak khawatir.
"Malah Mama capek di rumah terus. Enggak ada temannya." Mama tertawa kecil. "Bu Nita juga bantu-bantu di sana. Dia yang nawarin kerjaan ke Mama."
Bu Nita, tetangga di sebelah rumah, sekaligus pemilik kontrakan ini. Satu-satunya keajaiban yang menyambutku dengan tangan terbuka saat pindah ke Bandung.
"Asal Mama enggak maksain diri aja."
Mama menggeleng. "Kamu percaya aja sama Mama."
Aku sangat berterima kasih ketika Mama menemaniku ke Bandumg. Setelah menghadapi kenyataan yang sebenarnya, aku bersyukur ada Mama. Dengan kehadiran Mama, aku bisa menjaga diri agar tetap waras.
Bunyi motor yang berhenti di depan rumah membuatku segera berdiri. Aku membawa piring kotor ke dapur. Mama mengikuti dan menahan tanganku yang sudah terulur untuk mencuci piring bekas sarapan.
"Biar Mama aja yang nyuci. Kamu berangkat sana."
"Makasih ya, Ma." Aku mengambil tas lalu kembali menghampiri Mama. "Jalan dulu, ya, Ma," pamitku setelah mencium punggung tangan Mama.
"Hati-hati."
Aku menghela napas panjang sebelum melangkah keluar rumah. Saat ojek online membawaku ke kantor, aku seperti menarik diri dari rantai besar yang menahanku untuk tetap tinggal di rumah.
Kantorku berada di bangunan bekas rumah tinggal yang dialihfungsikan sebagai tempat kerja di daerah Dipati Ukur. Awalnya aku bersemangat, karena lokasi yang nyaman dan tenang menawarkan sesuatu yang berbeda dibanding kantorku di Jakarta. Namun saat masuk ke dalam, berinteraksi dengan orang-orang di dalamnya, semua ketenangan itu hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...