7. Perhatian yang Lain

17.1K 1.4K 39
                                    

"Putus? Yang benar aja kamu, Ray." Marthin menatapku kesal.

Seharusnya aku yang kesal karena semua perlakuan Marthin yang lebih banyak membuatku makan hati. Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali aku bahagia saat bersama Marthin.

"Aku udah bela-belain lihatin kamu ke sini karena kamu lagi sakit, terus kamu malah minta putus? Cuma karena aku enggak bisa temenin kamu ke rumah sakit?" Marthin makin tampak kesal. "Aku capek banget, makanya enggak dengerin telepon kamu."

Tidak sampai satu jam setelah Om Harris mengantarku pulang, Marthin datang ke kos. Aku tidak bermaksud untuk meminta putus, bahkan tubuhku masih lemah. Namun, ketika Marthin meminta maaf tanpa ada ketulusan di baliknya, permintaan putus itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Karena kamu terlampau mabuk sampai enggak sadar," timpaku.

Marthin bergerak gelisah. Awalnya dia mengelak dan beralasan ketiduran. Namun dia tidak bisa menghindar lagi karena ayahnya sendiri yang memberitahuku.

"Oke, aku minta maaf. Dari tadi juga aku udah minta maaf," ujarnya.

Aku sudah terlampau sering dikecewakan sampai-sampai hatiku merasa kebas.

"Masalah sepele ini doang masa langsung putus, sih?"

Darahku mendidih ketika Marthin menganggap masalah yang dihadapi bukan hal besar.

"Kali ini kamu ngambeknya udah kelewatan," lanjutnya.

Aku menghitung mundur sampai lima untuk mengatur emosi. "Kamu selalu menyalahkanku, bilang aku childish, suka ngambek. Padahal kamu yang sering begitu."

Marthin jelas tidak suka dengan tuduhanku.

"Kamu enggak pernah menghargaiku. Bahkan ketika teman-temanmu terang-terangan melecehkanku seperti semalam, kamu malah membela mereka. Kamu bilang aku lebay," lanjutku.

Marthin memasang ekspresi kesal. Jelas dia tidak suka disudutkan seperti ini.

"Aku enggak mau mengungkit semua tindakanmu yang sering menyakitiku, bahkan tanpa kamu sadari. Lebih baik sekarang kita sama-sama introspeksi diri, sama-sama melihat hubungan ini dengan kepala jernih. Kamu bakal merasa kok kalau enggak ada alasan untuk mempertahankan hubungan ini," jelasku.

Marthin mengusap wajah. Dia menghela napas panjang berkali-kali. Saat dia kembali menatapku, dia membuatku merasa seakan-akan aku adalah musuh yang harus segera dibasminya.

"Kamu enggak pernah mencintaiku, kan?" Tuduhnya.

"Gimana aku bisa mencintaimu selama kamu tidak pernah memperlakukanku dengan baik?" Aku balik bertanya.

"Bullshit."

Aku kembali menghitung mundur untuk meredam emosi dan agar tidak terpancing oleh Marthin.

"Kamu mencintaiku?"

"Of course," balasnya cepat.

Aku tertawa kecil. "Apa kamu pernah menunjukkan kamu mencintaiku?"

"Tentu saja. Kamu ngomong apa sih?" Marthin bersikap defensif.

"Kalau kamu mencintaiku, kamu enggak akan mengabaikanku."

"Kapan aku mengabaikanmu? Aku sibuk kerja, kamu aja yang demanding," balasnya.

Tuduhannya membuatku semakin yakin dengan keputusan ini. Aku bisa membela diri, tapi percuma. Lebih baik aku mengikuti perkataannya.

"Oke, aku demanding, childish, tukang ngambek, enggak pernah ngertiin kamu. Aku enggak asyik seperti teman-temanmu. Jadi apa lagi alasanmu untuk mempertahankanku?" Rasanya aku terdengar seperti Marthin.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang