34. Malam Bersamamu

22.3K 906 8
                                    

Harris

Rumah ini sudah terlalu lama sepi. Setelah Marthin dan Olivia memilih jalan hidupnya sendiri, aku semakin tersadar betapa sepinya hidupku.

Aku dan Anne pernah berangan-angan, seperti apa kami menjalani usia tua. Setelah anak-anak dewasa dan kami kembali tinggal berdua. Ternyata takdir berkata lain. Anne berpulang jauh lebih cepat.

Setelah Anne, aku tidak pernah menjalin hubungan serius dalam waktu lama. Perasaan bersalah karena menelantarkan Marthin dan Olivia membuatku tidak ada waktu untuk perempuan lain. Aku begitu kehilangan Anne, rasanya tidak akan ada perempuan lain yang bisa membuatku jatuh cinta

Aku mencoba, berkali-kali. Nyatanya ketertarikan fisik tak lantas membuat hatiku tersentuh.

Hingga Rayya masuk ke hidupku. Aku pun menertawakan diriku sendiri karena menyukai perempuan yang usianya enam belas tahun lebih muda itu. Terlebih dia pacaran dengan Marthin. Sempat ada keinginan agar dia memutuskan Marthin agar menyadari kehadiranku. Semua hal yang kulakukan untuk Rayya tak lebih dari sekadar justifikasi perasaan.

Melihat Rayya di rumah ini terasa sangat pas. Rayya membuat rumah yang tadinya kosong dan sepi, jadi terasa berwarna.

Aku memasuki hubungan ini dengan keyakinan penuh. Tak ada keraguan sedikit pun. Perasaan ini jauh lebih menggebu-gebu dibanding yang kurasakan kepada Anne. Tak ada yang menandingi.

She's the one.

Rasanya ingin menikahinya saat ini juga, agar tak ada yang bisa memisahkanku darinya. Kematian Anne mengajarkanku betapa berharganya waktu. Bersama Rayya, aku tidak ingin berjudi dengan waktu.

Tidak mudah untuk menikahi Rayya. Ada masalah besar yang harus kuselesaikan terlebih dahulu.

Marthin.

Namun aku hanya seorang pengecut yang memilih untuk menghindar daripada menghadapi masalah.

"Selesai. Tinggal tunggu matang." Rayya menutup oven dan berbalik menatapku.

Tawaku tumpah saat melihatnya. Tepung tanpa sengaja menghiasi wajahnya.

Aku bergerak mendekat, membuat Rayya terdesak ke kabinet dapur. Dengan ibu jari, aku menghapus jejak tepung di sana. Rayya ikut tertawa saat menyadari apa yang memenuhi wajahnya.

She's so young and beautiful. So pure. Sampai detik ini aku tidak menyangka Rayya mencintaiku. Dia mencari pria sempurna, membuatku merasa pongah karena Rayya menemukan sosok pria itu di diriku.

Rayya menyempurnakanku. Rayya membuatku kembali hidup. Rayya mengusir semua sepi di hatiku.

Aku menciumnya. Rayya membuatku candu. Satu-satunya yang bisa mengusir rasa candu itu adalah manis bibirnya.

Tubuhnya terasa sangat pas di pelukanku. Rayya kembali menyadarkanku bahwa seks bukanlah sebatas pemuas nafsu belaka. Bersama Rayya membuatku sadar betapa sakralnya hubungan intim tersebut.

Aku menarik Rayya kian dekat ke dalam pelukanku. Dia membuka bibirnya, mengundangku untuk mencumbunya lebih lanjut.

"My Rayya," bisikku di sela tarikan napasku saat menciumnya. Rayya milikku, aku tidak akan bisa bertahan hidup tanpa dia. Tanpa ciumannya. Tanpa sentuhannya.

Aku membawa Rayya beranjak dari dapur. Sambil terus menciumnya, aku merebahkannya di atas karpet. Tubuhnya menggeliat saat berada di bawahku. Rasanya ingin menyingkirkan pakaiannya. Memutus semua yang membuatku berjarak darinya.

"Mas..." desahnya memantik hasrat dari dalam tubuhku.

Aku kembali menciumnya. Ketika Rayya menjambak rambutku, aku melumat bibirnya. Tubuhku menekannya. Setiap kali Rayya menggeliat, penisku kian mengeras.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang