6. Sebuah Perhatian

17.2K 1.4K 69
                                    

Aku tidak pernah nyaman dengan teman-teman Marthin. Kalau sudah nongkrong, mereka bisa lupa waktu.

Ada lima orang di geng pertemanan itu. Abdi, yang sekantor sama Marthin. Phil, teman kuliahnya yang membuatku enggak nyaman karena lagak ala fuckboy dan menganggak semua perempuan akan bertekuk lutut di depannya. Lalu ada Sari dan Vega. Hanya Sari yang menyambutku dengan baik saat bersama mereka sementara Vega selalu menatapku sinis. Vega juga sering menunjukkan kedekatan berlebih dengan Marthin, membuatku curiga dia diam-diam menyukai Marthin dan tidak menyukai kehadiranku.

Kalau saja aku tahu Marthin akan nongkrong dengan teman-temannya, aku tidak akan mau ikut. Namun, Marthin mengubah rencana tiba-tiba. Dia ditelepon Vega, dan begitu saja, Marthin membawaku ke Beer Hall tanpa memberitahu tujuannya.

Terlambat untuk mundur karena aku melihat teman-temannya.

"Kok enggak bilang mau ketemu mereka?" Tanyanya.

Marthin membalas lambaian Phil. "Udah lama enggak nongkrong bareng."

Aku menghela napas panjang. Dengan berat hati, aku mengikuti Marthin.

Mereka menyambutku, kecuali Vega yang langsung menatapku dengan tatapan bermusuhan. Aku semakin tidak nyaman karena tak ada Sari.

Seperti biasa saat mereka nongkrong, aku lebih banyak diam.

"Lihat deh cewek baju pink. Tipe gue banget tuh. Susunya gede. Empuk banget tuh, badan sekel gitu enak banget buat dipakai." Phil mulai sesumbar.

Mau tak mau aku mengikuti arah yang ditunjuk Phil. Aku kasihan sama perempuan itu, juga perempuan lain, yang harus berhadapan dengan laki-laki seperti Phil.

"Sama kayak Rayya. Menang banyak lo, Bro." Phil menyikut Marthin, sementara Marthin malah tertawa.

"Apaan deh, enggak sopan banget omongan lo," tukasku, tidak nyaman karena Phil baru saja mengobjetifikasi tubuhku.

Marthin melemparkan tatapan protes kepadaku. "Cuma bercanda, Babe. Jangan sensi gitu dong."

"Bercanda juga ada batasannya," balasku, membuat suasana jadi canggung.

Marthin semakin mendelik. Tatapannya mengisyaratkan agar aku tutup mulut.

"Pacar lo baperan," celetuk Vega.

Aku mengabaikan Vega, membalas tatapan Marthin tanpa ada niat untuk mengikuti keinginannya.

"Eh, Streamflix jadi masuk ke Indonesia, Ray?" Abdi mencoba mencairkan suasana.

"Rayya kerja di Creative Market, bukan Streamflix," jawab Marthin, mendahuluiku.

"Kali aja Rayya tahu. Kalau ada lowongan, gue mau dong," lanjut Abdi.

Aku sudah membuka mulut, tapi lagi-lagi Marthin mendahuluiku. "Rayya mana tahu. Kalaupun mereka masuk pasar sini, ya enggak ada hubungannya sama Rayya."

Marthin benar-benar enggak mau aku buka suara, jadi dia menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku. Dia bahkan menahan tanganku di atas paha, seakan mengisyaratkan agar aku mengikuti keinginannya.

"Gue ke toilet dulu." Tanpa menunggu balasan, aku meninggalkan meja itu. Toh, tidak ada satu pun di antara mereka yang peduli.

Aku sengaja berlama-lama di kamar mandi, meski tidak ingin buang air. Sendiri di sini lebih baik dari pada berada di meja yang sama dengan mereka.

Namun, sepertinya aku salah membuat keputusan. Saat keluar dari bilik toilet, aku melihat Vega sedang mencuci tangan. Terlambat untuk kembali ke dalam bilik, karena Vega telanjur melihatku dari pantulan cermin.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang