14. (Bukan) Kencan di Pasar Malam

15.9K 1.2K 47
                                    

Rayya

"Ada pasar malam di Tangerang, sampai minggu depan. Kamu mau ke sana?"

Aku tak bisa menahan senyum saat membaca pesan itu. Andai Om Harris tahu selama beberapa hari ini aku seperti orang kesetanan karena menunggu pesan darinya. Tak biasa-biasanya aku bersikap seperti ini, tapi selalu ada yang pertama untuk segala hal.

"Boleh. Aku sudah lama enggak ke pasar malam."

Ini bukan kencan. Ini bukan kencan. Ini bukan kencan.

But ... ugh!!! I want it to be a date. Like a date ... date.

Aku menggelengkan kepala, mengusir pertentangan yang memenuhi benakku. Semakin keras aku meyakinkan diri bahwa ini bukan kencan, tapi aku tidak bisa menahan gejolak yang menyatakan ajakan ini sebagai kencan.

Lagipula, mana ada yang kencan ke pasar malam?

"Saya jemput ke kos?" Balasan Om Harris membuat perhatianku teralihkan.

"Aku bisa naik kereta ke Tangerang. Nanti Om jemput di stasiun aja." Aku tidak tega memintanya menjemputku ke Jakarta untuk kemudian kembali ke Tangerang.

"Saya enggak keberatan menjemputmu."

Dari semua pria di dunia ini, mengapa harus Om Harris yang menghadirkan perasaan ini?

"It's okay, Om. Jam tujuh di stasiun, ya."

"Oke. See you, Rayya."

"See you, Om."

Aku mendekap handphone di dada, lalu menatap lemari. Sudah lama aku tidak ke pasar malam, jadi aku tidak tahu pakaian apa yang cocok dipakai untuk ke pasar malam.

Tepatnya, pakaian kencan ke pasar malam.

Aku menjitak kepalaku sendiri, rasanya percuma mengusir pemikiran tersebt. Akhirnya aku bangkit berdiri dan menuju lemari, memilih pakaian yang pas.

***

Setelah membongkar isi lemari, pilihanku jatuh ke stripe t-shirt lengan panjang yang pas untuk dipakai di malam hari. Serta skinny jeans biru muda yang senada dengan garis di kaus . Aku sengaja melilitkan scarf di leher agar tidak terlalu polos. Terakhir, aku memakai sneakers yang nyaman untuk dipakai berjalan kaki dalam waktu lama.

Aku melangkah keluar dari stasiun, mataku celingukan mencari keberadaan Om Harris. Tawaku refleks tumpah saat melihatnya. Om Harris memakai kaus dengan motif stripe sewarna denganku, juga celana jeans biru.

Saat melihatku, tawa Om Harris juga tumpah.

"Kita kayak pakai couple t-shirt," selorohku saat sampai di dekatnya.

Om Harris menatapku sambil menahan tawa. "Mungkin kamu mengirim telepati."

Seharusnya keadaan terasa canggung, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku mengikuti Om Harris menuju mobilnya, sambil sesekali meliriknya. Dalam keadaan kasual seperti ini, Om Harris terlihat lebih muda. Apalagi dia mencukur habis cambang di wajahnya.

"Om lebih cocok pakai cambang, deh," celetukku, dan detik selanjutnya aku menyesal karena sudah lancang.

Om Harris mengusap rahangnya. "Oh ya?"

"Kalau bersih gini kelihatan muda, sih. Tapi kalau lagi berewokan kelihatannya lebih berwibawa," lanjutku.

One thing for sure, facial hair makes him looks hotter.

"Baiklah. Besok-besok saya enggak cukuran lagi."

Jawaban Om Harris membuatku menunduk untuk menyembunyikan semu merah di wajahku. Om Harris tidak perlu mempertimbangkan pendapatku, tapi tak ayal aku merasa diperlakukan istimewa.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang