Rayya
Aku mengintip dari balik gorden saat mendengar deru mobil. Aku mengenali mobil itu sebagai milik Marthin. Akhirnya aku baru bisa menarik napas lega saat mobil itu meninggalkan rumah Harris.
Tak lama, pintu kamar dibuka. Sosok Harris melangkah masuk. Ada sesuatu terjadi padanya. Langkahnya terlihat gontai, pundaknya terkulai, seakan beban yang menggayutinya begitu besar.
"Mas," panggilku.
Harris menatapku lekat-lekat sebelum memelukku. Dia mendekapku erat. Jika pelukan ini bisa berkata, aku yakin Harris meminta agar aku tidak pergi dari hidupnya. Dia memelukku, seolah ingin menahan kakiku agar tetap berada di sampingnya.
Aku membalas pelukan itu. "What's wrong?" tanyaku.
Harris tidak menjawab, tapi desahan napasnya yang berat menandakan ada sesuatu yang mengusiknya saat ini.
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan Harris dan Marthin, sehingga hanya bisa bertanya-tanya apa yang dialaminya.
"Marthin bilang apa?" Tanyaku.
"Dia mengenali tasmu."
Aku terkesiap. Selama ini, Marthin begitu cuek, sehingga aku tidak menyangka dia mengenali tas tersebut.
"Dia tidak tahu kamu ada di sini."
"Sampai kapan kita harus kucing-kucingan begini?" Tanyaku.
Harris memutar tubuhku hingga berhadapan dengannya. Meski dia berusaha menyembunyikan, aku bisa menangkap kekhawatiran Harris. Senyumnya terlihat begitu dipaksakan.
"Marthin sudah tahu kalau aku punya pacar, meski dia tidak tahu itu kamu." Harris mengusap wajahku dengan punggung tangan. "Pelan-pelan, ya, Sayang. Minggu ini aku ke Sydney, aku akan memberi tahu Olivia soal kamu."
Penjelasan Harris tidak sepenuhnya menenangkan. Meski begitu, aku tidak bisa mendesak. Bukankah aku juga melakukan hal yang sama? Tidak sepenuhnya jujur kepada Mama soal status Harris.
"Kamu kecewa kepadaku?" Tanyanya.
Ragu terlihat jelas dari gerak tubuhnya saat memelukku, membuatku refleks membalas pelukannya dengan erat.
"Kenapa aku kecewa?" Aku mendongak untuk menatapnya.
"Karena aku bukan pria sempurna seperti yang selama ini kamu cari."
Aku tersenyum. "Mas, kamu sempurna untukku."
"Meski aku bukan ayah yang baik?"
Aku tidak menduga bahwa masalah Harris dan Marthin akan seberat ini, sampai-sampai Harris selalu menyalahkan dirinya. Dulu, aku sering mendengar keluhan Marthin. Aku tidak setuju dengan cara Marthin yang memperlakukan ayahnya sebatas sumber uang. Aku sempat punya pandangan buruk soal Harris akibat cerita Marthin, tapi setelah mengenalnya, aku tidak setuju dengan Marthin.
Mungkin di masa lalu Harris pernah berbuat salah. Namun, dia sudah menyadari kesalahan tersebut. Dia sudah berusaha memperbaiki diri.
"Mas, aku enggak melihatmu sebagai ayah yang gagal." Aku mengusap wajahnya, perasaanku begitu membuncah saat melihat raut sendu di wajahnya. Keyakinan di hatiku begitu kuat, bahwa Harris adalah satu-satunya. "Tidak mudah untuk mengakui kesalahan, tapi kamu melakukannya. Itu langkah besar, Mas."
Aku tidak suka Harris yang seperti ini. Harris yang tidak percaya diri dan menatap sendu akibat menumpuk perasaan bersalah.
"Mas, satu-satunya yang kuinginkan jadi ayah dari anak-anakku kelak hanya kamu." Tak ada sedikit pun ragu saat aku mengutarakan hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...