"I'm so sorry."
Enam bulan lalu, ketika baru berpacaran dengan Marthin, aku akan luluh dengan permintaan maaf dipadu tatapan puppy eyes penuh penyesalan itu. Pengalaman mengajarkan bahwa maaf tidak ada artinya jika keluar dari mulut Marthin.
Sama seperti janji, maafnya Marthin hanya omong kosong belaka.
Selalu seperti ini, setiap kali dia mengecewakanku, Marthin akan datang ke hadapanku dengan wajah memelas dan kata maaf serta pembelaan yang sudah dipersiapkannya di ujung lidah.
"Rayya, Babe, maafin aku. Sumpah, kalau enggak penting-pwnting banget aku juga nggak ninggalin kamu," lanjutnya.
Aku menghela napas panjang. "Aku jadi enggak enak sama ayahmu."
Om Harris tidak mengizinkanku pulang sendiri. Setelah makan malam, dia mengantarku pulang ke kost di Setiabudi. Sangat jauh dari rumahnya di Karawaci. Namun, Om Harris tidak menerima penolakan.
Sementara itu, Marthin sama sekali tidak bersalah saat dia menghubungiku, empat jam kemudian, ketika aku sudah tidur. Itu pun dengan entengnya dia berkata, "untung deh kamu sudah di kost. Aku capek banget, enggak sanggup ke Karawaci."
Kalau saja Om Harris tidak bersikeras mengantarku pulang, aku pasti sudah luntang lantung menunggu Marthin dan pulang sendiri hampir tengah malam.
"Yah, Papa menceramahiku tadi pagi." Marthin menyengir sambil menggaruk kepalanya.
Terjawab sudah kenapa Marthin berinisiatif meminta maaf. Biasanya, Marthin enggak pernah peka setiap kali berbuat salah.
"Marthin, kalau begini terus, aku capek."
Marthin menatapku dengan mata membola. "Please, jangan gitu dong. Aku salah, aku janji enggak bakal begini lagi. Kamu jangan tinggalin aku, ya. I love you."
Satu lagi kata yang kehilangan arti ketika keluar dari bibir Marthin. I love you. Dia terlalu mudah mengumbar kata itu.
Sementara, dari mulutku, tak sekalipun aku mengutarakan pernyataan cinta.
Ada yang membelit hatiku ketika lidahku mendadak kelu saat akan mengucapkan cinta. Karena aku tidak yakin apakah aku mencintai Marthin. Aku menyayanyinya, tapi untuk cinta, perasaan itu masih jauh.
Aku berkenalan dengan Marthin lewat perantara teman. Setelah pendekatan yang intens, aku menerima Marthin sebagai pacarku. Perasaanku saat itu sebatas suka dan aku yakin, seiring perjalanan waktu, aku bisa mencintai Marthin.
Mungkin cinta itu akan tumbuh jika Marthin memperlakukanku dengan layak. Namun, aku tidak yakin cinta itu akan hadir mengingat cara Marthin yang membuat kehadiranku tak lebih dari sekadar ban serap. Eye candy yang bisa dibawanya menemani saat nongkrong dengan teman-temannya. Tempat berkeluh kesah kalau ada masalah di kantor. Tempat dia bersandar saat capek. Itu pun, aku tidak selalu jadi nomor satu. Aku tak ubahnya seperti ikan yang dipaksa naik ke darat saat berada di dunia Marthin, karena dia mengabaikanku begitu saja.
Bukan sekali dua kali aku memikirkan untuk mengakhiri hubungan ini. Namun, aku ingin memberikan kesempatan untuknya.
Kesempatan yang selalu disia-siakan Marthin.
"Besok aku libur. Kita jalan, ya. Ke mana aja yang kamu mau. Aku janji enggak bakal ada gangguan." Marthin menatapku lekat-lekat.
"Kamu lupa besok aku ada kerjaan ke Singapura?"
Marthin tersentak. Dia kembali menggaruk kepalanya, kebiasaan setiap kali dia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku sudah kasih tahu sejak minggu lalu."
Marthin memasang wajah merajuk. "Sorry, aku lagi overwhelmed banget sama kerjaan..."
Aku bangkit berdiri, tidak mengizinkan Marthin menyelesaikan ucapannya, karena alasan yang keluar dari mulutnya hanya membuatku sakit hati.
"Kamu mau ke mana?" Tanyanya yang sudah mensejajari langkahku.
"Kantor. Jam makan siang sudah habis." Aku menjawab dingin.
"Nanti pulang bareng, ya."
Aku mengangguk mesti dalam hati tidak mengizinkan diriku berharap terlalu banyak.
Kantorku dan Marthin berada di area yang sama meski berbeda gedung. Seharusnya jarak yang tak seberapa membuatku bisa bertemu sering-sering. Nyatanya, hanya aku yang berusaha. Marthin yang memintaku jadi pacarnya, tapi dia juga yang menganggapku tak pernah ada.
Aku berbelok ke arah Revenue Tower, sementara Marthin bekerja di Prosperity Tower sehingga kami berpisah di lobi Ashta. Aku menatap punggungnya yang menjauh menuju lift. Perasaanku makin tidak menentu.
Sorenya, setelqh aku menunggu hampir satu jam dan tinggal sendiri di kantor, aku kembali menelan kekecewaan ketika Marthin mengirim pesan singkat.
"Babe, sorry nggak jadi bisa pulang bareng. Ada emergency."
Aku menjerit tertahan. Bodohnya aku masih memberi kesempatan kepada pria yang sama sekali tidak layak diberi kesempatan.
Saat aku melangkah menuju lift, keinginan untuk putus dari Marthin semakin bulat.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomantikHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...