36. Praduga Marthin

10.9K 910 20
                                    

Harris

Wajah panik Rayya membuatku bergerak cepat, sebelum Marthin memergoki Rayya berada di tempat tidurku. Bukan ini skenario yang ada di benakku saat memberi tahu Marthin soal hubunganku dan Rayya.

Aku menuju lemari, mengambil pakaian pertama yang kulihat, serta membawa kaus untuk Rayya. "Aku temui Marthin di bawah, kamu tunggu di sini."

Rayya menerima kaus yang kusodorkan. "Cepat atau lambat, kita harus memberi tahu Marthin. Tapi enggak begini caranya."

"Aku tahu. Kamu tunggu di sini, biar aku menemui Marthin." Aku mengecup kening Rayya, berusaha untuk menenangkannya.

Dengan tergesa-gesa, aku memakai celana training dan kaus, lalu keluar kamar. Aku menyempatkan diri untuk menatap Rayya. Dia masih gelisah, menggigit kukunya, dan pandangannya menatap nanar ke arah jendela.

"Pa..." Panggilan Marthin menyentakku. Buru-buru aku menutup pintu kamar dan menyusul Marthin yang berada di anak tangga terakhir.

"Ada siapa di dalam?" tanyanya dengan wajah usil. Ekspresi itu pasti akan langsung hilang begitu dia tahu siapa yang sekarang ada di atas tempat tidurku.

Rayya. Mantan pacar Marthin. Perempuan yang pernah dicintainya.

"Bukan siapa-siapa. Kamu tumben ke sini." Aku mengajak Marthin menuruni tangga, menjauh dari Rayya.

Seharusnya pernyataan itu tidak kulontarkan. Meski Marthin sudah tidak tinggal di sini, dia masih berhak atas rumah ini. Dia anakku, seharusnya aku tidak mempertanyakan alasan kedatangannya.

Aku menyalahkan panik, juga kekhawatiran karena membiarkan Rayya sendirian.

Begitu sampai di lantai satu, mataku langsung menyisir sekeliling. Aku mendapati bra Rayya tergeletak di punggung sofa, juga ada pakaiannya yang tercecer di lantai. Marthin pasti sudah melihatnya, karena dia tertawa ketika aku mengambil pakaian Rayya dan menyelipkannya ke belakang bantal sofa.

"Santai aja kali, Pa. Lagian, sudah lama aku enggak lihat Papa sama perempuan." Marthin menunjuk ke arah lantai dua. "Aku enggak mau dikenalin ke calon ibu tiriku?"

Ada rasa tidak nyaman di hatiku ketika mendengar lelucon Marthin. Hubunganku dan Marthin sempat berjarak, tak lama setelah Anne meninggal. Aku yang menyibukkan diri dengan pekerjaan membuat Marthin jadi tidak terkendali. Meski ada neneknya, tapi yang dibutuhkan Marthin adalah orang tua. Dia berduka karena kehilangan ibunya, dan aku tidak ada untuknya.

Marthin telanjur marah. Di matanya, aku tidak becus jadi orang tua. Hubunganku dan Marthin berubah dingin, cukup sulit untuk melunakkan hatinya. Sikap Marthin yang egois dan terlampau cuek merupakan hasil dari kegagalanku sebagai ayahnya.

Meski sekarang hubunganku dan Marthin mulai membaik, tapi tak lantas membuatku bisa dengan mudah memperkenalkan Rayya sebagai pacarku. Walaupun aku hadir setelah hubungan mereka berakhir, Marthin pasti akan merasa dikhianati. Aku tidak ingin hubunganku dan Marthin kembali memburuk, tapi aku juga tidak bisa memungkiri perasaanku kepada Rayya. Mereka membuatku merasa serba salah, tidak bisa berpikir logis dan mencari jalan keluar terbaik.

"Kamu mau makan malam di sini?" tanyaku basa basi, tidak ingin menanggapi candaan Marthin.

"Enggak, aku cuma mampir." Marthin menduduki sofa, membuatku ikut duduk di seberangnya. "Aku ada rencana mau road trip di Eropa bareng teman-temanku selama tiga minggu. Semuanya sudah diurus. Aku juga sudah membayar sebagian."

Aku mendengarnya dengan saksama, menunggu Marthin mengutarakan niat sebenarnya.

"Tabunganku enggak cukup, Pa. Terus, juga harus ada minimal tabungan buat mengurus visa." Marthin menatapku dengan cengiran enteng. "Papa yang tambahin, ya."

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang