Harris
"Pa?"
Aku menoleh ke balik punggung. Dari tempatku di dapur, aku bisa melihat Olivia memasuki rumah.
"Kamu belum makan, kan?" Tanyaku.
Samar, aku mendengar suara langkah kaki Olivia mendekat. Aku bersyukur Olivia mau kembali pulang ke rumah dan tinggal di sini sampai masa liburannya habis. Rumah ini terasa sangat sepi ketika hanya ada aku di sini.
Dua hari sudah berlalu sejak aku kehilangan Rayya. Aku menghubunginya dengan membabi buta. Namun Rayya tidak menghiraukan panggilan telepon dan pesanku. Dia membiarkanku tergantung tanpa penjelasan.
Aku bahkan sengaja membuat akun Instagram untuk mengecek apakah ada update dari Rayya. Namun lagi-lagi harapan semu itu langsung mati detik ini juga karena Rayya tidak meninggalkan jejak apa pun.
Dia bemar-benar hilang ditelan bumi.
Bukan berarti aku membiarkannya menghilang. Aku tidak akan menyerah, sekalipun harus mencarinya ke seluruh penjuru dunia.
"Bikin apa, Pa?" Tanya Olivia.
"Oseng cumi. Kamu siapin nasi, sudah hampir matang," sahutku.
Olivia mencuci tangan sementara aku menyelesaikan masakan. Hatiku mencelus saat teringat kebersamaanku dengan Rayya di dapur. Dia tidak pernah berhenti memelukku, selalu berada dalam jarak dekat denganku, tak peduli saat itu aku tengah sibuk memasak.
Aku merindukan Rayya. Di mana pun dia berada, aku berharap dia turut merindukanku.
Aku membawa cumi tersebut ke meja makan, bersamaan demgan Olivia menata piring berisi nasi.
"Marthin sudah pulang?" Tanyaku.
Olivia mendengkus. "Semalam dia enggak pulang karena main sama teman-temannya. Aku malas ketemu dia, makanya aku ke sini."
Tak seharusnya aku mengabaikan Marthin. Namun aku tidak tahu lagi cara menyampaikan pemahaman kepadanya. Di matanya, aku pendosa besar yang tak layak untuk diampuni. Aku hanya bisa berharap waktu akan melunakkan hati Marthin.
Berdua dengan Olivia nyatanya mampu membuat rumah ini terasa sedikit lebih hidup. Meski nyatanya, di dalam hati, aku tetap merasa kesepian.
"Sejak kapan meja ini pakai table runner?" Olivia terkekeh saat menunjuk taplak meja berwarna abu-abu di meja makan.
Seketika aku lupa cara bernapas saat menatap table runner tersebut. Rayya yang membelinya, karena dia tidak suka meja makan yang polos karena memberikan dengan kesan dingin.
"Itu juga ada throw blanket di sofa. Warnanya enggak Papa banget deh," lanjut Olivia.
Aku tersenyum kecut. Sama seperti table runner, throw blanket itu ada juga karena Rayya.
Satu hal yang membuatku sesak saat berada di rumahku sendiri. Karena selalu ada Rayya ke mana pun aku menoleh. Bukan hanya bayangannya saja yang terasa kuat, setiap kenangan yang ditinggalkannya selalu menyeruak dari dasar hatiku.
"Rayya yang beli," sahutku.
Olivia tidak menyahut. Selain percakapan di telepon malam itu, aku tidak pernah membicarakan Rayya bersama Olivia.
Aku menatap Olivia lekat-lekat, berusaha membaca tanggapannya. Namun Olivia hanya memasang wajah datar.
"Kamu masih tidak terima Papa berhubungan demgan Rayya?" Tanyaku.
Olivia meletakkan sendoknya di atas piring. Sambil melipat tangan di meja, Olivia menatapku. "Papa seserius itu sama Mbak Rayya?"
Aku mengikuti gestur Olivia--melupakan makanan di hadapanku dan menatapnya lekat-lekat agar Olivia mengerti betapa aku mencintai Rayya.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...