5. Perkara Jodoh

20.7K 1.4K 54
                                    

Mama pernah cerita, beliau harus melewatkan proses yang tidak mudah untuk bisa mendapatkan anak. Ketika menginjak tahun ke-10 pernikahan, dan Tuhan belum berbaik hati menitipkan benih di rahim Mama, kedua orang tuaku sudah menyerah.

Keajaiban itu datang di usia pernikahan ke-13. Di usia 39 tahun, Mama hamil. Usia membuat Mama mengalami kehamilan yang berat.

Jarak usiaku dengan kedua orangtuaku sangat jauh. Papa bahkan sudah berumur 40 tahun ketika aku lahir. Tidak banyak waktu kuhabiskan bersama Papa, karena Papa telanjur berpulang.

Hanya tinggal berdua dengan Mama membuat kami sangat dekat. Hal itulah yang membuatku dengan berat hati menitipkan Mama di panti jompo.

Sepeninggal Papa, kondisi keuangan kami tidak bagus. Mama yang ibu rumah tangga, mengambil kendali setelah Papa pergi. Mama bekerja apa saja. Namun, banting tulang membuat kesehatan Mama menurun. Akibatnya, Mama harus berhadapan dengan penyakit yang rentan menerpa manula.

Keuangan yang menipis membuatku tidak punya banyak pilihan. Mama yang meminta untuk dimasukkan ke panti jompo. Kata Mama, ada perawat yang menjaganya. Ada rekan sebaya yang bisa menjadi teman. Itu lebih baik dibanding sendirian di kontrakan kami.

Aku tak punya pilihan. Mama membutuhkan pengawasan intens. Harus ada yang membantunya jalan, bahkan untuk sekadar ke kamar mandi. Aku tidak bisa stand by 24/7 di sisi Mama. Kalau aku tidak bekerja, bagaimana kami bisa hidup?

Orang-orang boleh menyebutku anak durhaka. Namun, ini yang terbaik untuk kami berdua. Setiap kali aku mengunjungi Mama, wajahnya selalu bersinar.

Pagi ini, Mama bercerita tentang talent show yang akan diadakan akhir bulan ini. Semua penghuni panti akan unjuk kemampuan. Termasuk Mama.

Mama baru saja selesai menyanyikan lagu lawas dari Ruth Sahanaya. Lagu Andaikan Kau Datang itu favorit Mama. Aku sering mendengarkan Mama ikut bernyanyi dari kaset tape tua yang sudah ada di rumah semenjak aku belum lahir.

"Mama bisa menang enggak, ya?"

Aku mengangkat wajah dari apel yang sedang dikupas. "Suara Mama masih bagus."

Mama mengernyitkan dahi. "Mama harus waspadai Risma."

Oma Risma, primadona panti, yang masih cantik di usia 70-an. Aku selalu bertemu beliau setiap kali mengunjungi Mama. Tante Risma selalu memamerkan foto masa mudanya, saat beliau masih aktif sebagai penyanyi dan sering diundang ke acara kenegaraan di era pemerintahan Presiden Soeharto. Dulu Oma Risma seorang biduan ternama, di masa tua dia menghabiskan waktu di panti. Sepanjang yang aku tahu, tidak ada keluarganya yang datang menjenguk. Makanya Oma Risma senang banget kalau aku datang. Aku pun memastikan selalu membawakan makanan untuk Oma Risma.

"Marthin apa kabar?"

Pertanyaan Mama membuatku kembali sendu. Aku ingat waktu memperkenalkan Mama kepada Marthin. Meski Marthin berusaha memasang wajah biasa-biasa saja, aku tidak bisa memungkiri bahwa dia tidak nyaman. Begitu ada panggilan darurat ke kantor, Marthin langsung angkat kaki. Padahal belum sampai lima menit dia di sini. Reaksinya menunjukkan Marthin sangat senang dengan panggilan itu karena dia bisa segera mangkir dari sini.

Aku tidak tahu bagaimana sebenarnya Mama menanggapi soal Marthin. Di hadapanku, Mama mendukung hubungan ini. Aku tidak mau Mama berharap terlalu banyak.

"Baik," sahutku.

Mama mengambil pisau dariku lalu mengupas apel. "Kamu bisa cerita apa saja sama Mama."

Aku tahu. Sejak kecil, aku selalu menumpahkan semua isi hati di hadapan Mama. Tidak ada rahasia di antara kami.

"Aku enggak tahu kenapa aku enggak bisa mencintai Marthin," ujarku.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang