Rayya
"Ray, temenin ke Grand Lucky dong." Mala menghampiri mejaku.
Mataku capek karena sejak tadi tanpa henti memelototi laptop, sehingga ajakan Mala terdengar menggiurkan. Aku segera menutup laptop dan mengambil dompet serta handphone, lalu mengikuti Mala.
Kantorku berada di coworking space yang menempati salah satu gedung di kompleks perkantoran ini. Ada dua gedung lain, serta satu mal dan satu hotel. Di tengah-tengah, terdapat meeting point yang juga menjadi tempat nongkrong sore-sore.
Biasanya aku suka nongkrong di sana sambil ngopi. Aku juga suka janjian dengan Marthin di sana, karena meski bekerja di gedung berbeda tapi masih berada di kompleks yang sama.
Mala menggandeng lenganku saat melewati jalanan yang membawa ke Grand Lucky, supermarket yang terletak di seberang kompleks ini. Matahari sangat terik, juga polusi yang tak berkesudahan, membuatku malas berlama-lama di luar ruangan.
Di area outdoor menuju ke arah Grand Lucky diperuntukkan sebagai smoking area. Mataku menatap awas orang-orang yang menghabiskan sore sambil merokok. Marthin sering merokok di sana, dan aku tidak mau bertemu dia.
"Pacar lo tuh," seru Mala.
Terlambat untuk menghindar, karena Marthin telanjur menatapku. Dia bersama teman-temannya. Aku mengenali salah satunya sebagai teman kerjanya.
Juga ada Vega.
"Sudah putus," balasku. Aku sengaja menatap ke depan, menghindari Marthin.
"Kapan?" Tanya Mala. Dia memang teman kerjaku. Di antara rekan lain di kantor, aku paling dekat dengannya. Namun hubungan kami tidak sedekat itu untuk aku bisa curhat soal Marthin.
"Dua mingguanlah."
"Kayaknya dia mau balikin. Dia nyamperin lo tuh." Mala menunjuk ke arah Marthin dengan dagunya.
Aku mengerang pelan saat melihat Marthin mendekatiku.
"Mau ke GL, Ray?" Tanya Marthin enteng, seolah tidak terjadi apa-apa dalam hubunganku dengannya.
"Iya, nemenin Mala," ujarku ringan. Bagaimana pun, Marthin pernah jadi temanku sebelum pacaran. Putus bukan berarti membuat hubungan pertemanan berakhir, kan?
"Ngobrol sebentar, yuk."
Berkali-kali Marthin mengirim pesan berisi hal yang sama, tapi aku enggak menggubrisnya.
"Gue mau belanja." Aku mengelak.
"Bentar doang, Ray," desak Marthin.
Aku menepis tangannya yang menahan lenganku. Dengan berat hati, aku menampakkan ekspresi bersalah di depan Mala.
"Lo tunggu di aini aja. Gue sebentar lok." Mala meninggalkanku. Dia berjalan sendiri menuju Grand Lucky sementara aku menunggu di sini.
Aku enggak suka bau rokok. Namun, Marthin menahanku di smoking area yang membuatku terbatuk-batuk akibat asap rokok. Namun, Marthin enggak peduli.
"Ada apa?" Aku tidak menutupi rasa keberatan akibat asap rokok.
"Kamu kenapa sih mutusin aku?"
Pertanyaan yang jawabannya sudah kuberikan ketika aku memutuskannya. Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata di depan Marthin.
"Karena hubungan kita sudah enggak sehat. Aku berkali-kali kecewa karena kamu selalu ingkar janji dan menggampangkan perasaanku," balasku.
"Kamu tuh ngomong apa sih?" Marthin tampak sewot. "Bilang aja kalau kamu memang enggak cinta kan sama aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...