53. Tentang Kamu dan Dia

7.9K 857 27
                                    

Harris

Hari ini aku pulang ke Jakarta. Sepertinya aku baru sampai tengah malam. Besok pagi aku kos kamu, sekalian aku antar ke kantor.

Harris

Aku berangkat ya, Sayang. See you in Jakarta.

Harris

Just landed. Kamu sudah tidur? Have a nice dream, Yaya!

Harris

Morning, Sunshine! Aku izin nemuin kamu ya pagi ini.

Harris

Sepertinya aku telat. Kamu sudah telanjur berangkat ke kantor.

Harris

Yaya, aku enggak tahu apa yang membuatmu enggak mau membalas pesanku. Yang pasti, aku enggak akan berhenti mengirimimu pesan meski enggak dibalas.

Harris

Seperti halnya aku yang enggak akan pernah berhenti mencintaimu, apa pun yang terjadi.

Harris

Semangat kerjanya. Jangan telat makan siang.

Harris

Let me know kamu pulang jam berapa, biar aku jemput.

Harris

Aku ketemu temanmu, Mala. Katanya kamu sudah pulang sejak tadi sore.

Harris

Aku ke kost kamu ya. Please, temuin aku.

Harris

I love you.

***

Rayya

Aku menatap pesan demi pesan yang dikirimkan Harris. Pesan yang setiap kehadirannya seperti pisau yang menikam dan meninggalkan luka menganga.

Pesan yang sampai sekarang masih belum kubalas. Tidak ada keberanian untuk membalasnya. Aku membiarkannya, berlaku seperti seorang pengecut.

"Mbak Rayya?"

Aku mendongak untuk menatap sosok yang memanggilku. Olivia.

Dia mengambil tempat di depanku. Dia alasan aku pulang cepat dari kantor hari ini.

Begitu menerima pesan Olivia tadi siang, rasanya jantungku berhenti berdetak. Aku tidak tahu dari mana Olivia mendapatkan kontakku. Mungkin dari Marthin atau Harris.

Olivia mengajakku bertemu. Tak punya pilihan lain, aku mengiyakan ajakannya meski dia tidak memberitahu alasan di balik ajakan ini.

"Rayya." Aku mengulurkan tangan sembari berusaha membaca arti air mukanya. Olivia benar-benar mirip Harris. Bahkan ketenangan yang dipancarkannya begitu mirip Harris. "Kita belum kenalan secara proper."

Olivia menyambut uluran tanganku. "Olivia. Tadinya aku mau nanyain kabar Mbak, tapi..." Olivia menunjuk mukaku. "Enggak usah ditanya juga ketahuan Mbak lagi kacau."

Aku tertawa kecil. Jika situasinya berbeda, aku yakin bisa berteman dengan Olivia.

"Kamu mau pesan makan apa?" Tanyaku basa basi, sekadar mengulur waktu.

Olivia membuka buku menu dan aku memanggil pelayan. Namun tak banyak waktu yang bisa diulur, karena begitu pelayan berlalu membawakan catatan pesananku dan Olivia, aku harus berhadapan dengan kenyataan.

Jika Olivia ingin mengonfrontasiku, aku tidak punya tenaga untuk menghadapinya. Semuanya sudah terkuras oleh hinaan dan tuduhan Marthin yang masih bercokol di benakku sampai sekarang.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang