54. Beri Waktu Untukmu

7.7K 694 8
                                    

Harris

Rayya menghindariku. Tak ada satu pun pesanku yang dibalas. Teleponku diabaikan begitu saja. Sikapnya yang mendadak berubah membuatku begitu khawatir.

Di saat seharusnya aku bersama dengannya, Rayya malah mengambil jarak.

Setidaknya aku tahu dia baik-baik saja. Seharian ini, aku seperti stalker yang membuntuti ke mana Rayya pergi. Sepanjang hari aku berdiam di mal yang berada di kompleks yang sama dengan kantornya, berharap bisa menemuinya. Aku melihat Rayya saat dia makan siang dengan temannya, tapi aku putuskan untuk mengamati dari jauh. Berharap bisa mendapat kesempatan bertemu dengannya sepulangnya dari kantor.

Namun, aku malah kehilangan jejaknya. Aku hanya melihat temannya. Dari dia, aku tahu Rayya pulang lebih awal.

Aku berharap bisa bertemu dengannya di kost. Namun kamar itu dalam keadaan gelap saat aku tiba di sana. Berhubung ini hari kerja, aku yakin Rayya tidak ke panti jadi aku putuskan untuk menunggunya.

Sudah lewat pukul sepuluh ketika aku melihat ojek online berhenti di depan rumah kost ini. Hatiku langsung berteriak lega sewaktu melihat Rayya.

Kerinduanku begitu membuncah. Rasanya ingin segera memeluknya.

Itulah yang kulakukan saat Rayya tiba di hadapanku. Aku langsung memeluknya erat. Tak akan pernah sekalipun aku membiarkan perempuan ini lepas dari pelukanku.

Hatiku mencelus saat menyadari Rayya tidak membalas pelukanku. Tubuhnya menegang, dia membiarkanku memeluknya tapi Rayya terasa begitu jauh.

"Sayang, kenapa?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Rayya menggeliat hingga terlepas dari pelukanku. Dia membuka pintu kamarnya. Buru-buru, aku segera menyusul sebelum dia menutup pintu itu di hadapanku.

Malam ini juga, aku harus bicara dengannya. Cukup sekali aku membiarkan keadaan berlarut tanpa ada penjelasan, dan berakibat pada situasi sulit ini.

"Mas, aku capek. Aku mau tidur." Rayya membelakangiku ketika dia mengusirku.

Aku bergeming di tempat. Mataku menatap tajam ke arah punggungnya. Perasaanku jadi tak keruan, dorongan emosi berusaha untuk menguasaiku.

"Kenapa kamu menghindariku?" Tanyaku.

Rayya tidak menjawab. Sambil terus memunggungiku, Rayya menyibukkan diri dengan membereskan meja. Sesuatu yang tidak perlu dilakukannya.

"Look at me, Yaya," pintaku.

Rayya bergeming. Keadaan meja jauh lebih menyita perhatiannya ketimbang bicara denganku dan memberi tahu apa yang mengusik pikirannya.

"Yaya, please, look at me."

Setelah satu tarikan napas panjang, Rayya akhirnya memutar tubuhnya untuk mengjadapku, meski dia masih enggan membalas tatapanku.

Aku meneliti wajahnya. Matanya yang sembab memberitahuku bahwa dia habis menangis. Hatiku mencelus karena yakin akulah penyebab air mata itu. Aku pernah berjanji untuk tidak akan menyakitinya, tapi sekarang aku yang menyebabkan tangis itu.

"I'm so sorry." Aku mendekatinya. Kedua tanganku menangkup wajahnya, berharap bisa meredakan air matanya. "Aku minta maaf karena sudah membuatmu menangis."

Rayya menggeleng. "Bukan salahmu."

Penyangkalan itu tak ubahnya seperti pisau yang menancap di jantungku. Rayya memperlihatkan sosok tegar sementara air matanya menunjukkan hal lain.

"Aku minta maaf karena ucapan Marthin. Kamu tahu itu tidak benar." Aku menghela napas panjang untuk meredam emosi yang selalu muncul setiap kali teringat tuduhan Marthin atas Rayya. "Marthin tidak pantas menuduhmu dengan semua fitnah yang tak benar itu. Aku, kamu, hanya kita yang tahu kebenaran di balik hubungan ini."

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang