Rayya
Aku tidak pernah menyangka hari terakhirku di kantor ini akan berlangsung dalam suasana mencekam. Baik yang pergi maupun yang tinggal, semua berada dalam situasi canggung. Aku memaksakan diri untuk tersenyum, tapi siapa pun bisa melihat tidak ada ketulusan di balik senyum itu.
Hari-hari terakhir berjalan begitu lama. Setiap detik terasa begitu menyiksa. Aku selalu memaksakan tubuh untuk bangun dan bersiap ke kantor. Rasanya seperti robot, mengulang hal yang sama berkali-kali tanpa ada yang hinggap di hati dan benakku. Bagiku, hari tak lagi berarti.
Malamnua, aku akan menangis sampai tubuhku yang lelah akhirnya menyerah dan tertidur dengan sendirinya. Aku merindukan Harris. Dia memberikanku waktu untuk berpikir, dan aku tidak menyukai situasi ini.
Bukan sekali dua kali aku mendapati diri ingin menghubungi Harris, tapi aku selalu tersadar di detik terakhir. Melawan kerinduan yang menggebu, aku memaksakan diri untuk tidak menghubunginya. Bukankah ini yang kuinginkan?
Aku tidak tahu apakah ini keputusan terbaik. Hanya saja, aku tidak bisa terus-terusan menanggung perasaan bersalah jika mempertahankan hubungan ini. Aku tidak mungkin bisa berbahagia dengan Harris selama Marthin terluka oleh keputusan ini.
Berjauhan dengan Harris bukan hal yang mudah. Meski berat, aku pun menanggung kerinduan ini seorang diri.
Mungkin saja penyebab aku begitu merindukan Harris karena situasi yang tidak berpihak padaku. Aku sedang terpuruk, berada di titik terbawah hidupku. Aku membutuhkan sandaran berupa pelukan Harris.
Namun, aku tersadar tak bisa selamanya bergantung pada Harris atau siapa pun.
"Keep contact ya, Ray." Mala memelukku, mengembalikan diriku ke masa sekarang, ketika aku harus berpamitan kepada rekan yang menjadi bagian hidupku selama beberapa tahun terakhir.
"Thanks, Mal."
Tak terhitung berapa kali aku mendapat ucapan serupa, hingga hatiku merasa kebas. Senyum terpaksa sudah melekat di wajahku, membalas setiap ucapan penuh duka yang diberikan kepadaku.
"Ray, ngobrol sebentar yuk." Ryan, yang terhitung hari ini menjadi mantan atasanku, memintaku menjauh dari keramaian.
Aku mengikuti Ryan yang membawaku ke ruang meeting kecil di sudut.
"Lo udah ada interview kerjaan?" Tanya Ryan.
Aku menggeleng. Dari beberapa lamaran yang kuakukan, belum ada satu pun yang dapat timbal balik.
"Teman gue punya agensi di Bandung. Dia butuh performance marketing, dan gue ingat lo. Kalau memang lo butuh, gue bisa rekomendasiin." Ryan mengetikkan sesuatu di handphone miliknya sebelum kembali bicara. "Barusan gue kirim link-nya. Kalau lo tertarik, bisa apply. Nanti gue kasih heads up ke teman gue."
"Bandung?" Tanyaku.
Ryan mengangguk. "Setahu gue mereka bisa remote. Mungkin lo bisa apply buat kerja remote."
"Thanks, Yan. Gue coba."
Ryan menepuk pundakku pelan. "Hang in there. Gue tahu potensi lo. Sayang banget gue enggak bisa mengubah keputusan manajemen buat pertahanin lo."
"It's okay. Mungkin ini yang terbaik buat gue," tukasku. Meski posisinya lebih tinggi, Ryan sama saja denganku. Dia hanya karyawan biasa yang tak punya kuasa di depan atasan yang lebih tinggi.
"Saran gue, lo coba aja apply yang ini. Bandung enggak jauhlah."
Aku tersenyum. Akhirnya aku bisa tersenyum dari dalam hati, bukan dipaksakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...