18. Father's Side

13.8K 1.1K 31
                                    

Harris

Dengan susah payah, aku membawa Marthin memasuki apartemennya. Apartemen ini aku beli ketika Marthin hampir lulus kuliah dan mulai magang, sehingga dia butuh tempat tinggal di pusat Jakarta. Sesekali aku datang ke apartemen ini.

Baru kali ini aku datang sambil menggotong anak sulungku yang setengah sadar. Dia bahkan tidak sadar selama di perjalanan. Tidak jelas apa yang keluar dari mulutnya, dan aku tidak mau tahu.

Sejak tadi aku berusaha menahan emosi untuk tidak mengkonfrontasi kelakuannya, tapi percuma ngomong dengan orang mabuk.

Aku mendudukkan Marthin di kursi, lalu mengambilkan air putih untuknya. Setelah meneguk air putih, setidaknya matanya mulai fokus kembali.

"Kenapa Papa ada di sini?" Katanya.

"Menurutmu, siapa yang membawamu ke sini setelah buat kacau di tempat Rayya?" Tegurku.

Keningku berkerut. Dia benar-benar tidak ingat apa saja yang dilakukannya. "Rayya?"

"Kamu datang ke tempatnya dalam keadaan mabuk. Apa maksudmu?"

Marthin memang anakku, tapi dalam pengaruh alkohol, dia bisa tidak terkendali. Aku langsung dilanda panik saat Rayya meneleponku. Beragam hal buruk bermain di benakku. Sepanjang jalan aku berdoa semoga masih ada sisa akal sehat di diri Marthin sehingga dia tidak menyakiti Rayya.

Aku tidak akan mengizinkan siapa pun menyakiti Rayya. Bahkan jika dia adalah anakku sendiri.

Perasaan yang kumiliki kepada Rayya terasa berbeda. Aku peduli kepadanya. Bukan karena dia mantan pacar Marthin, justru aku tidak ingin mengingat hubungannya dengan Marthin karena hal itu hanya membuatku emosi.

Apa yang kurasakan kepada Rayya mengingatkanku pada perasaan yang dulu kumiliki untuk Anne. Namun rasanya lebih kuat. Kehadirannya begitu tiba-tiba. Di satu waktu dia hanya orang asing yang menjalin hubungan dengan Marthin. Di lain waktu, aku melihatnya sebagai perempuan dewasa yang ingin kumiliki.

I want to touch her, kiss her, hug her. I want to kiss her.

Most of all, I want to love her.

Rayya sudah menguasai seluruh tempat di kepala dan hatiku. Sia-sia saja mengusirnya, dia sudah meninggalkan jejak yang begitu kuat.

Dia masih muda, tapi jiwanya jauh lebih dewasa dibanding usianya. Aku tersentuh oleh ketulusannya saat menyayangi orang yang dipedulikannya.

Saat menatap Marthin yang masih berusaha mengusir hangover, aku bersyukur Rayya memutuskannya.

Because she deserves someone better than him.

And I wish that someone is me.

Fuck, she's messing with me.

"That bitch."

"What?" Hardikku, tidak jelas mendengar ucapan Marthin.

"Rayya. That bitch. Kurang apa coba aku, bisa-bisanya dia minta putus." Marthin menggerutu.

"Jaga omonganmu. Papa enggak pernah mengajarkanmu bicara serendah itu soal perempuan," tegurku.

Ucapan Marthin memancing emosiku. Tidak ada seorang pun yang berhak merendahkan Rayya, apalagi Marthin.

Marthin mendengkus. "Papa enggak kenal aja sama dia. Cewek ngebosenin kayak dia, mana ada yang mau melirik? Untung aja dia cantik."

"Marthin, jaga omonganmu," hardikku.

Marthin tertawa. "She thinks so highly about herself. Sok jual mahal. Aku yakin juga sebentar lagi dia yang akan minta balikan."

"I bet she's smart." Aku menanggapi. "Smart woman deserves someone better. She didn't deserve someone stupid like you."

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang