Rayya
Hal pertama yang aku lihat saat sampai di kantor adalah ajakan meeting dari Jack. Sebagai bos besar, aku tidak bekerja langsung di bawah Jack. Ada Rian, manajer yang membawahiku sehingga semua hal terkait pekerjaan cukup dipertanggungjawabkan di depan Rian.
Itu kenapa undangan dari Jack terasa begitu berbeda.
Aku tidak bisa menahan pikiran agar tidak berkelana terlalu jauh, meski itu adalah hal terakhir yang kubutuhkan.
Waktu satu jam berjalan terasa begitu lama. Berkali-kali aku melirik jam, tapi angka digital itu sama sekali tidak bertambah. Rasanya begitu lama, ditambah aku tidak bisa bekerja karena konsentrasiku buyar.
Lima menit menjelang pukul sepuluh, aku beranjak dari meja menuju ruang meeting. Lebih baik aku menunggu Jack di sana.
Ruang meeting begitu dingin. Aku sengaja memeluk kedua lengan untuk memberikan sedikit rasa hangat. Juga begitu hening. Ketika Jack membuka pintu, aku nyaris melompat saking kagetnya.
"Hai, Rayya. How are you?" Tanya Jack yang mengambil tempat di depanku.
Not good. Heartbroken and stuff. "I'm good, thanks."
Aku mencoba membaca air muka Jack. Namun dia dianugrahi wajah datar yang membuatku sulit menerka apa arti pertemuan ini.
"Gue langsung to the point aja ya, Ray." Jack bahkan tidak membawa laptop, membuatku terpaksa menutup laptopku sendiri dan menyimak perkataan Jack dengan jantung berdegup kencang. "Mungkin lo ada dengar soal keadaan agensi ini. Kita sekarang memang enggak eksklusif lagi dengan Streamflix. Per bulan depan, ada pekerjaan yang harus kita adjustdengan mereka."
Aku menahan diri untuk tidak menunjukkan kegelisahan di depan Jack.
"Jadi perusahaan terpaksa mengambil beberapa langkah. Organisasi kita terlalu gendut, jadi butuh perampingan. Ada beberapa fungsi yang saling tumpang tindih dan sebenarnya bisa digabung jadi satu." Jack melanjutkan.
Hatiku mencelus saat mendengarnya. Aku mulai bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini berlangsung.
"Termasuk fungsi yang lo tempatin. Lo salah satu karyawan terbaik di sini. Performance lo selama ini bagus, enggak ada complain apa pun, baik dari klien, manajerial, atau rekan kerja. Tapi, sayang banget, manajerial terpaksa mengambil keputusan ini." Jack menatapku lekat-lekat.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum meski hatiku meraung atas ketidakadilan ini.
"Jujur, berat buat gue dan manajerial mengambil keputusan ini. Kita sudah mengecek semua opsi, mencari yang terbaik. Tapi, cuma reorganisasi ini satu-satunya jalan," tambah Jack.
Kenapa harus aku? Ingin rasanya meneriakkan hal tersebut, tapi urung. Karena begitu membuka mulut, yang keluar dari mulutku adalah isak tangis.
"Rian dan gue siap ngasih reference letter buat lo. You are a good marketer, Ray. Gue yakin di luar sana ada perusahaan lain yang butuh orang kayak lo," lanjut Jack.
Di depannya, aku hanya mengangguk kecil. Aku tidak butuh harapan semu yang tak ada artinya itu.
"We are so sorry to have to let you go, Rayya."
Apa pun yang keluar dari mulut Jack selanjutnya tidak berhasil masuk ke dalam otakku. Aku hanya bisa diam mematung, seolah mendengarkannya, padahal dalam hati aku terisak.
Kenapa harus sekarang? Kenapa harus aku yang kehilangan pekerjaan ini? Jika kata Jack benar, tidak ada masalah dengan pekerjaan, mengapa mereka harus memecatku?
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
Storie d'amoreHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...