61. Missing You
Rayya
Hal terakhir yang kulihat sebelum beranjak tidur adalah pesan dari Harris. Aku tidak tahu apakah harus menyesal atau tidak saat membaca pesan itu.
Harris: Aku baru sampai di Jakarta. Kamu apa kabar? Sehat-sehat ya, di mana pun kamu berada. Aku kangen kamu, aku masih berharap hatimu bisa melunak dan menerimaku lagi. Aku sudah bicara dengan Marthin. Masalah ini membuatku benar-benar bicara empat mata dengan Marthin. Ternyata ada banyak hal yang harus kami bahas. Karena kamu, aku dan Marthin bisa saling terbuka. Aku cinta kamu, Yaya. Kalau ada sedikit saja tempat di hatimu untukku, aku mohon, kembali kepadaku.
Tanpa terasa air mataku menetes. Selalu seperti ini, setiap kali Harris mengirim pesan. Sudah tidak terhitung berapa banyak pesan yang dikirimkannya kepadaku. Aku tak sampai hati untuk memblokir nomornya. Jauh di dalam hati, aku terus menunggu kedatangan pesannya. Meski sulit menahan diri untuk mengabaikan pesan itu.
Akhirnya yang bisa kulakukan hanya menangis.
Malam ini pun sama. Hanya dengan membaca pesan Harris, air mataku tak terbendung. Aku berbaring sambil terisak. Percuma menahan tangis, tak ada kekuatan tersisa untuk melawan kerinduan yang menguasai diriku.
Di saat tumpukan beban masalah terasa makin berat, aku merindukan Harris. Rasanya ingin bergelung di pelukannya, merasakan ucapannya yang menenangkan, juga menikmati kehangatan tubuhnya yang mampu meredam semua beban.
Aku membutuhkan Harris. Sangat membutuhkannya.
Namun, setiap kali aku tergerak untuk menghubunginya, ragu kembali melanda. Kenyataan yang ada seakan menahanku untuk menggapainya. Dan akhirnya, aku semakin terisak.
Sama seperti malam sebelumnya, kali ini pun aku hanya bisa menangis. Satu hak yang pasti, aku masih dan akan selalu mencintai Harris.
***
"Sarapan dulu. Mama sudah beliin nasi uduk."
Aku meletakkan tas di atas kabinet di ruang tamu, lalu menuju meja makan kecil yang hanya mampu menampung dua orang. Mama meletakkan nasi uduk di atasnya.
Tanpa suara, aku menyantap sarapan. Rasanya begitu berat. Berangkat ke kantor tidak pernah membuatku bersemangat. Dari hari ke hari, suasana kantor tidak menyenangkan. Aku mendapat cap sebagai anak baru yang tidak bisa diajak bekerjasama. Pekerjaanku tidak ada yang beres. Aku memilih untuk bungkam dari pada bicara karena tidak ada yang mendengarku.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya Mama
Aku memaksakan diri untuk mengangguk. Mama tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di kantor. Aku sengaja menyembunyikannya karena tidak ingin membuat Mama khawatir.
"Lagi banyak kerjaan aja, Ma." Aku berkilah.
"Bukan keadaan kantor yang Mama tanya," bantah Mama. "Kamu menangis lagi semalam."
Hampir saja sendok terlepas dari tanganku. Aku bahkan tidak berani mengangkat wajah karena Mama pasti akan melihat mataku yang bengkak.
"Mama sering mendengarmu menangis. Dinding pembatas ini tipis Rayya. Setiap malam, Mama mendengar tangisanmu," jelas Mama.
"Aku baik-baik saja." Hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Rayya, Mama tahu siapa yang membuatmu menangis."
Nada lembut di balik suara Mama membuat air mataku terancam turun.
"Kalau memang kamu masih mencintainya, kamu bisa mempertimbangkan ulang keputusanmu," ujar Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...