8. In The Air

19.9K 1.4K 57
                                    

"Untung kos lo dekat. Urusan tiket pesawat dan hotel sudah beres ya, lotl tinggal berangkat," ujar Mala.

Aku baru sampai di kantor ketika mendadak dapat tugas dari pihak StreamFlix. Di antara satu tim, tidak ada yang stand by dengan passpor di tangan. Mala tinggal di Bogor, rekanku yang lain, Dave tinggal di BSD jadi tidak memungkimkan untuk pulang terlebih dahulu demi mengambil paspor. Hanya aku satu-satunya yang bisa dadakan berangkat ke Singapura pagi ini.

"Gue ke kos dulu, terus cabut," sahutku.

"Materinya gue kirim email ya. Jadi nanti lo sampai, semuanya sudah siap. Gue sama Dave yang handle." Mala menambahkan.

Aku mengemasi bawaan, setelah berpamitan pada Mala dan Dave, aku kembali ke kos mengambil paspor dan packing dalam waktu qsingkat untuk tiga hari di Singapura. Ini bukan kali pertama aku harus pontang panting demi memenuhi panggilan ke Singapura. Biasanya kami semua membawa paspor ke mana-mana, tapi karena sudah lama tidak ada panggilan dadakan ini, lama-lama jadi abai perihal paspor.

Tidak lama, aku berangkat ke bandara. Karena dadakan, aku beruntung mendapat kursi di kelas bisnis.

Tak banyak waktu tersita, karena aku sampai di bandara nyaris mendekati batas minimal waktu yang diharuskan untuk keberangkatan ke luar negeri. Setidaknya nanti di pesawat aku bisa melanjutkan pekerjaan.

Berada di bandara, dengan pesawat terparkir di hanggar, ingatanku langsung teringat akan sosok Om Harris. Pesanku malam itu tidak dibalas. Alih-alih aku malah mendapatkan rentetan pesan dari Marthin yang diakhiri dengan amarah, juga keyakinannya bahwa aku akan menyesali keputusan ini.

Saat sepenuhnya sadar, aku membaca kembali pesan yang kukirim ke Om Harris. Aku tak kuasa menahan malu saat membacanya. Namun nasi sudah jadi bubur. Aku tidak mungkin bisa menganulir pesan itu. Aku tak habis pikir, apa yang membuatku mengirim pesan tersebut?

Setidaknya, setelah ini, tidak ada lagi alasan untuk bertemu Om Harris. Untung dia tidak membalas pesan itu. Jadi aku cukup menanggung malu seorang diri.

Panggilan boarding mengagetkanku. Aku mengemasi tas dan beranjak. Karena di kelas bisnis, aku berkesempatan naik pesawat terlebih dahulu.

Langkahku mendadak berhenti begitu memasuki pesawat. Di hadapanku, berdiri Om Harris. Mataku langsung menelitinya. Dia tampak begitu gagah dalam balutan seragam pilot. Wajahnya terlihat teduh saat menyadari kehadiranku.

Senyumnya membuat jantungku berlompatan.

"Pagi, Om," sapaku.

"Pagi Rayya. Kamu sudah sehat?"

Aku mengangguk sekilas. Untung saja aku tidak bisa berlama-lama berbasa basi dengan Om Harris karena banyak penumpang lain yang antre di belakangku.

Saat aku sudah duduk di kursi, aku melongokkan kepala ke arah depan, berusaha mencari keberadaan Om Harris. Detik sebelahnya, aku mengutuk kebodohanku. Mengapa aku sangat ingin melihat Om Harris?

A million dollar questions.

"This is Captain Harris Jusuf speaking. Welcome aboard to SS307 from Jakarta to Singapore."

Suaranya yang berat terdengar dari pengeras suara. Bahkan suaranya saja membuat darahku berdesir.

Hal ini tidak pernah kurasakan sebelumnya. Bahkan terhadap Marthin.

Untuk mencegah pikiranku berpikir lebih jauh, aku mengisi waktu dua jam penerbangan dengan mempelajari bahan meeting. Keuntungan berada di kelas bisnis, aku bisa sekalian bekerja.

Tanpa terasa, pemberitahuan memberi tahu pesawat ini akan segera mendarat di Singapura. Aku mengemasi barang bawaanku, memastikan tidak ada yang tertinggal di pesawat. Aku mengeluarkan scarf dari dalam tas, senjata andalanku untuk membuat penampilanku tidak terlihat begitu polos.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang