Rayya
Harris menggandeng tanganku melewati pintu rumahnya. Semenjak membawaku pergi dari bandara, tak sekalipun dia melepaskan genggamannya. Jantungku berlompatan riuh seiring langkahku meninggalkan bandara, dan sekarang, saat aku mengikuti Harris memasuki rumahnya.
Satu hal yang pasti, tidak ada rasa ragu.
Aku memandang sekeliling. Rumah ini masih terasa kosong. Rumah dua lantai berukuran besar yang sanggup menampung keluarga besar, nyatanya ditinggali sendiri. Melihat kesibukan Harris, dengan international flight yang memadati jadwalnya, rumah ini lebih sering kosong.
"Kamu mau mandi dulu? Pasti gerah, kan?" tanya Harris.
Meski saat ini yang kuinginkan adalah mendorongnya ke tempat tidur, aku tidak bisa memungkiri bahwa tubuhku yang berkeringat setelah seharian di luar ruangan membuatku jadi tidak percaya diri.
"Kamu bisa pakai kamar mandiku, ada air hangat di sana," lanjut Harris.
Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Harris mengajakku memasuki kamarnya. Lagi, jantungku berlompatan ketika berada di dalam kamar itu. Ini kali pertama aku berada di dalam ruang paling pribadi seorang pria.
Mataku menatap sekeliling, meneliti ruang paling pribadi di hidupnya ini. Tempat tidur berukuran besar menjadi pusat kamar, dengan bed frame custom berwarna beige yang senada dengan nakas, bench di dekat jendela, dan walk in closet. Kamar itu lebih besar dibanding rumah kontrakan yang pernah kutempati dengan Mama.
"Aku mau pinjam baju," pintaku.
Harris membuka walk in closet. Satu sisi dipenuhi seragam kerjanya. Juga ada rak khusus untuk menyimpan topi dan perintilan yang menunjang profesinya sebagai pilot. Tanganku terulur menyentuh seragamnya. Harris dalam seragam pilot adalah kelemahanku.
"Aku boleh ke kokpit lagi?" Tanyaku.
Harris menyodorkan selembar kaus kepadaku. "Aku akan cari waktu yang pas, penerbangan yang enggak begitu ramai jadi aku bisa mengundangmu ke kokpit. Kamu harus lihat pemandangan dari dalam sana. Alam luas membentang akan membuatmu merasa amaze sekaligus begitu kecil di hadapan alam."
Aku tersenyum. Darahku berdesir setiap kali mendengarnya bercerita tentang pengalamannya bekerja.
"Kamu bisa mandi di sana." Harris menunjuk pintu di ujung walk in closet yang menuju kamar mandi.
Harris meninggalkanku sendiri. Keheningan langsung melanda. Ketika aku membuka pakaian, pipiku bersemu merah. Saat aku berdiri telanjang di tengah kamar mandinya, aku merasakan desiran merambati sekujur tubuhku.
Aku membayangkan Harris mendekap tubuhku di sini.
Bayangan bermesraan dengan Harris semakin memenuh ingatanku. Aku tidak bisa mengingkari keinginan yang tumbuh kian subur dari hari ke hari. Itu juga yang membuatku mengajukan permintaan tersebut. Harris memang membawaku ke rumahnya, seperti permintaanku, tapi aku menyiapkan bagian hatiku agar tidak kecewa jika menerima penolakan.
Meski aku sangat yakin Harris juga menginginkanku, logikanya seringkali menang saat melawan perasaan. Aku tidak ingin malam ini logika tersebut kembali menang. Aku ingin Harris menyerah pada perasaan.
Aku tidak berlama-lama, tidak ingin memupuk bayangan liar di benakku. Bayangan itu semakin liar ketika menatap pantulan tubuhku di cermin. Kaus pemberian Harris membuatku seolah tenggelam.
Aku keluar dari kamar dan menuju dapur. Aku mendapati Harris tengah menuang wine.
"Hai," sapanya, ketika aku memeluknya dari belakang. Aroma aftershave berpadu aroma tubuhnya memenuhi penciumanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...