"Bunda mana?"
"Apa lo dateng-dateng nanyain Bunda?"
"Tinggal jawab doang susah banget lu."
Lelaki itu kembali menyeret kakinya yang tidak tampak terluka. Tapi dari caranya berjalan, menunjukkan adanya luka yang tidak nampak pada salah satu kaki yang berbalut celana jeans hitam panjang itu. Dilangkahinya satu per satu anak tangga. Denyutan di kakinya yang entah berasal dari luka dalam atau luka luar yang tidak dia rasa, lama-lama jadi terasa. Air matanya yang sejak tadi ditahan akhirnya mengalir dari sudut mata, tapi air mata itu keluar bukan karena rasa sakit di kakinya.
Tok... tok... tok.
"Bun," panggilnya dengan suara tercekat, tangisnya pasti akan tumpah di hadapan sang ibunda.
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok yang sudah beberapa minggu tidak dia temui.
"Kenapa nangis? Pulang-pulang kok nangis," tanya sang bunda dengan nada sedikit mengomel sembari mengerutkan kening, berdiri tegak tanpa ada raut iba, yang ada raut jengkel.
Lelaki itu menyandarkan dada pada kusen pintu, terisak seperti anak kecil di ambang pintu kamar bundanya.
"Ngomong, kenapa?" desak sang bunda.
"... T-Tolongin, B-Bun," akhirnya dia meminta dengan terbata di sela isakannya yang semakin tergugu.
"Kenapa? Tolongin apa? Yang jelas, ngomongnya jangan sepotong-sepotong."
Mata Sang bunda menatap tajam.
"Motorku kecelakaan, aku sama Gazza, Gazza sekarang di Rumah sakit."
"Parah?"
Kepalanya mengangguk-angguk dengan bibir yang semakin mencebik dan isakan yang tercekat.
Perempuan yang dipanggil Bunda itu kemudian masuk kembali ke dalam kamar, mengambil tasnya dengan cepat lalu melangkah keluar--menutup pintu kamarnya, membuat putranya yang menangis di kusen pintu otomatis memundurkan badan.
"Minta tolong Bang Bilal selametin Gazza, Bun."
"Minta tolong sama Allah. Udah Bunda bilangin berkali-kali bawa motor itu jangan kebiasaan ngebut. Orang laen, kan, yang jadi korbannya, gimana kalo sampe meninggal? Mau bilang apa kamu ke keluarganya?"
Langkah kakinya cepat. Dalam omelannya terkandung kecemasan yang besar akan keadaan anak yang sekarang berada di rumah sakit itu dan nasib sang putra jika sesuatu yang buruk menimpa anak itu.
"Bun... hiks... uhukk... uhukkk."
Suara isak itu tiba-tiba didominasi batuk lalu dibarengi dengan suara napas yang jadi tersengal-sengal, tercekat-cekat kesulitan.
Sang ibunda yang sudah menuruni anak tangga, membalikkan badan dan kembali naik, menghampiri putranya yang terduduk membungkuk kepayahan.
Tidak ada tas atau barang apa pun yang dibawa putranya itu.
"QAIII!!! ADA INHALER ABANG Di KOTAK OBAT, TOLONG AMBILIN!!"
Suara menggema sang bunda terdengar jelas dari tempat Qaisar duduk, dia bangkit dari sofa sembari menghela napas.
Setelah mengambil benda yang bundanya maksud, kakinya melangkah malas menaiki tangga menuju lantai dua tempat sang bunda berteriak.
"Kenapa Iyong nangis? Diputusin pacar? Tapi bukannya Iyong jomblo lumutan," celotehnya setelah memberikan benda yang dibawanya, dia terlihat santai tidak tampak panik melihat abangnya yang kacau.
"Bunda mau ke rumah sakit dulu. Abang kamu abis kecelakaan, temennya yang dibonceng kondisinya katanya parah."
"Parah gimana, Bun? Iyong-nya gak pa-pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.