101

2K 403 176
                                    

Rion sempat tertidur, dan sekarang sudah kembali bangun, jangan tanyakan tentang napasnya yang masih saja begitu sesak, tapi cukup terbantu dengan BiPAP yang membuatnya jadi tidak harus lagi berusaha terlalu keras untuk sekadar menarik dan mengembuskan napasnya.

Ada Lena dan Hardian di sisi ranjang, bundanya duduk di kursi dan ayahnya berdiri.

Lena menarik sudut bibir melihat mata sayu itu yang perlahan terbuka.

Miris sekali dengan kondisi putranya, segala alat untuk mengukur tanda vital terpasang di tubuh tak berdaya itu, beberapa kantong obat dalam bentuk cair masuk ke pembuluh darahnya melalui kateter yang menjuntai di lengan, dan alat bantu napasnya, menggunakan jenis BiPAP saja sudah sangat membuat tertohok, apalagi jika harus melihat Rion bernapas melalui tabung kecil yang masuk ke dalam tenggorokannya.

"Masih sesak banget?" tanya Lena. Sebenarnya ingin dia dekap putrannya itu, tapi dalam keadaan begini tidak bisa.

Rion menyahut dengan anggukan yang sangat pelan.

"Sabar, ya. Nanti Abang ganti alat bantu napasnya, supaya Iyong gak terlalu sesak lagi," ucap Lena.

Rion langsung teringat pada Intubasi yang diobrolkan oleh para tenaga medis, termasuk abangnya, obrolan yang dia dengar sebelum tertidur tadi.

Alat bantu napas itu, kah, yang dimaksud bundanya?

Serasa langsung memiliki tenaga lebih, Rion menggeleng sembari perlahan mengangkat tangan.

"Ngg-gaahh... Bh-hun, " ucap Rion dengan terbata, jarinya kemudian menunjuk-nunjuk masker BiPAP, berusaha memberitahukan bahwa dengan alat bantu napas itu saja sudah cukup.

"Biar cepet pulang ke rumah. Cepet baikan," kata Lena.

Rion menggeleng lagi.

"G-gaah... Bh-hu-un, ga--"

Rion tidak mampu bersuara lagi, dadanya semakin terasa sesak.

Matanya seketika memanas.

Dia melirik Hardian, berharap ayahnya paham dan menolong.

Kemudian datang seorang Dokter perempuan dengan perawat pria yang membawa troli yang di atasnya berisi peralatan...

Tahik!

Rion tahu salah satu dari peralatan itu, tabung kecil cukup panjang yang sedikit melengkung.

Lena dan Hardian berbicara dengan dokter dan perawat itu lalu melangkah mundur. Yang Rion dengar, orang tuanya menanyakan keberadaan Bilal lalu si Dokter perempuan itu menyahut bahwa Bilal sedang menangani pasien lain.

Tahik Bilal!

Air mata Rion menetes. Ingin kabur, tapi boro-boro untuk kabur, untuk bersuara saja tidak memiliki energi.

Seorang Dokter pria menghampiri.

"Tunggu bentar, Ta," ucapnya kepada si dokter perempuan.

Dokter pria itu adalah Syahid. Walaupun memakai masker, tapi Rion hapal. Dan si perawat pria adalah Yovan, yang diam saja, padahal biasanya banyak omong.

"Kenapa?" tanya si Dokter perempuan.

"Tungguin Farees," kata Syahid.

"Loh, bukannya diserahin ke kita?"

"Tunggu bentar."

Syahid menatap Rion. "Kenapa nangis?" tanyanya sembari kemudian melangkah mendekat lalu mengusap air mata Rion dengan punggung jari.

"Ada yang sakit, Iyong?" Si Dokter perempuan ikut bertanya, dia pasti kenal dekat juga dengan Bilal, makanya tahu panggilan akrab Rion.

Hardian dan Lena sudah tidak ada di area ranjang, mereka keluar, tidak sanggup jika harus melihat tindakan Intubasi.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang