Bilal diizinkan cuti mendadak, berkat Syahid sih yang meyakinkan Kepala Instalasi bahwa Tim Dokter Jaga malam akan mampu melewati malam ini tanpa Bilal, lagi pula operan pasien tidak begitu banyak dan sejak kemarin ada Dokter Internship juga yang membantu. Berharap saja malam ini pasien tidak membludak, jika pasien membludak keberadaan Bilal yang gesit jujur akan sangat dibutuhkan.
Hardian dan Lena sudah tidur.
Bilal berbaring di ranjang pasien, bukan maunya dia, ini permintaan dari pasiennya yang ingin ditemani tidur, Bilal turuti saja karena dia juga pegal jika harus duduk terus selama memantau pasiennya.
Kepala Rion bergerak, jatuh ke pundak Bilal. Sejak tadi adiknya itu bergerak gelisah, belum terbiasa tidur mengenakan masker BiPAP yang memang kurang nyaman digunakan saat tidur karena strap yang melingkar di kepala pasti terasa mengganggu.
Bilal lega karena kondisi Rion baik-baik saja, tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan, tanda vitalnya masih dalam hitungan aman, sejak tadi dia melirik secara berkala kepada monitor yang memperlihatkan angka-angka itu, tidak ingin kecolongan, bisa saja tiba-tiba ada perubahan yang berpotensi membawa kepada kekacauan; pikirannya sedang buruk sekali.
Rion kembali bergerak, kali ini sampai mengangkat punggung--bangun.
"Kenapa?" tanya Bilal yang otomatis ikut bangun, menoleh kepada adiknya.
"Ininya," kata Rion sembari menunjuk strap masker BiPAP.
Napasnya terdengar lebih nyaring jika menggunakan alat bantu napas itu karena alatnya sendiri mengeluarkan bunyi nyaring saat memberikan dua tekanan udara.
"Gak pa-pa, gak nyaman karena lo belom terbiasa. Tidur lagi," ucap Bilal sambil dipegangnya tangan Rion yang terangkat menunjuk strap, pelan-pelan Bilal mendorongnya agar kembali berbaring dengan posisi ranjang yang dibuat setengah duduk itu.
Rion memejamkan mata lagi, seolah barusan hanya mengigau.
Bilal tidak melepaskan tangan adiknya, dia genggam, berharap dapat memberikan sedikit rasa nyaman.
-
-Felix sampai di rumah sakit pagi-pagi, Lena berada di luar ruang rawat inap, katanya Rion sedang mandi seadanya dibantu oleh Bilal, dan tidak mau jika ada orang lain di dalam ruangan.
"Mas Hardi udah pergi?" tanya Felix setelah berpelukan sesaat dengan kakaknya itu.
"Udah, baru aja," sahut Lena.
Mereka berdua duduk di kursi yang ada di Koridor depan ruang rawat inap Rion.
"Aku gak bawa apa-apa, soalnya bingung harus bawa apa."
Lena menoleh, tersenyum. "Emang gak usah bawa apa-apa, Lix, bawa makanan pun Iyong gak makan," ungkapnya.
"Sekarang sama sekali gak makan lewat mulut?"
"Kalo lagi enakan biasanya dia minta, ngemil dikit-dikit. Tapi kalo lagi sesak banget, minum aja nggak, asupan cairannya lewat infus doang."
"Ah, gak tega banget kalo liat."
Felix jarang menjenguk Rion, bukan hanya karena sibuk kerja, tapi juga karena merasa sepertinya tidak akan tega melihatnya, apalagi setiap kali menanyakan kabar kepada kakaknya, dia tidak pernah mendapat balasan kabar baik.
Lena terkekeh. "Jangan nangis kalo liat, biasa aja, nanti Iyong ngomel kalo dipandang kasihan sama orang. Yang lebih sedihnya, Lix, anak Teteh si banyak omong ini, sekarang tuh kalo ngomong aja kayak susah banget, berantem sama napas."
Air mata Lena menetes.
"Si Teteh katanya jangan nangis, malah nangis duluan," ucap Felix, yang jadinya ikut merasakan sesak. Matanya memanas. Sudah dia tahan-tahan dari pertama menginjakan kaki di pelataran rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.