[Typo Bertebaran.]
.
.
.
***
***"Terimakasih."
Suara yang terdengar lirih dan pelan terdengar dikamar yang cukup gelap karena selain suasana yang sudah malam, lampu kamar yang seharusnya menerangi ruangan itu sudah dimatikan. Felix, pemuda itu tak pernah lepas menatap putranya yang sudah tertidur dengan memeluk tubuhnya. Tangannya terulur mengelus dengan lembut berharap putranya itu tidak terganggu. Tak terasa matanya sudah menggenang oleh air mata. Ini bukan sekali tapi, setiap kali ia lakukan saat putranya itu tidur dengannya. Ia yang selalu teringat akan kehidupannya dahulu sebelum bertemu Al, hingga ia dipertemukan oleh sosok yang sekarang sudah menjadi Putranya ini. Semenjak putranya ada disisinya, ia tak pernah merasa kekurangan kasih sayang lagi. Bahkan karena putranyalah ia bisa memiliki orang tua yang benar-benar menyayanginya dengan tulus. Ia juga cukup menyesal akan perbuatannya dulu, yang ingin merebut anak dari sahabat sendiri karena keegoisannya.
Untuk adiknya Xifer, mereka beberapa kali sering bertemu, walaupun hanya bertanya akan kabar dan keseharian mereka masing-masing. Karena bagaimanapun mereka masih saudara, tidak mungkin ia memutuskan ikatan antara dirinya dan adiknya itu.
Waktu yang sudah menunjukkan pukul 12 malam tapi tak ada niatan untuk dirinya tidur.
Bibirnya bergetar mencoba menahan tangisnya yang akan pecah saat menatap wajah damai Putranya itu.
Hingga pergerakan kecil yang dilakukan Al membuatnya seketika terkejut."P_Papa?" panggil Al yang tiba-tiba saja tersadar dari tidurnya, tangannya terangkat mencoba menggosok matanya yang dirasa pandangan meburam.
Felix segera menahan tangan kecil itu."Jangan digosok!" perintahnya dengan lembut, sekuat tenaga ia mencoba suaranya tak terdengar bergetar.
Al menuruti Papanya itu, ia memilih menyadarkan kepalanya didada bidang sang Papa."Kenapa Papa belum tidur," tanyanya terdengar lemah, sepertinya anak itu masih mengantuk. Bahkan mulutnya menguap kecil karena rasa kantuknya.
"Jangan bergadang, gak baik bagi kesehatan." sambungnya, dengan memejamkan kedua matanya lagi.
Felix tersenyum hangat mendengar penuturan Putranya itu." Iya papa akan tidur." jawabnya dengan mengecup pucuk kepala Al.
Saat akan mengangkat kepalanya, ia tak menyadari air matanya menetes dan jatuh mengenai pipi Al.
Al segera membuka matanya dengan lebar, bahkan rasa kantuknya yang tadinya begitu berat hilang seketika.
Tangannya segera menyentuh pipinya yang basah oleh air. Ia sangat yakin ini air mata."Papa nangis?' tanyanya dengan terkejut, tak mungkin air hujan yang menetes, karena mansion Opanya tak pernah sekalipun bocor. Bahkan diluar tidak hujan.
Felix mengerutuki kebodohannya, bagaimana ia bisa lupa sekarang ia sedang menangis. Ia pikir karena ruangan kamar yang gelap Al pasti tak melihatnya sedang menangis. Tapi, bukan berarti air matanya tak bisa menetes.
Walaupun begitu ia masih mencoba menyangkal.
"Tidak, Papa tidak menangis." Elaknya mencoba berbohong. Al tentu saja tak bisa dibohongi karena buktinya sudah cukup jelas. Tangannya dengan cepat menyentuh permukaan wajah Papanya itu, dan benar saja wajah sang Papa sudah basah oleh air mata.
"Al tadi Papa habis cuci muka, tapi belum dikeringkan." ungkap Felix mencoba menyakinkan.
Al menggeleng tak habis pikir kepada kebohongan Papanya itu."Papa masih mau menyangkal?" tanyanya dengan sedikit kekecewaan."Al lebih suka Papa jujur kalau Papa menangis, bukannya Al udah pernah bilang, bukan berarti kita cowok, kita gak dibolehkan untuk menangis."
Sambung Al menjelaskan kepada Papanya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALVIN ✓
Teen Fiction~ Familyship, Brothership, Bromance dan Friendship *** Kisah seorang remaja yang meninggal akibat kecelakaan dan bertransmigrasi ke tubuh seorang anak berumur empat tahun yang hidup di jalanan. Disaat meratapi nasibnya remaja itu di kejar-kejar pre...