Aku tiduran di atas ranjang dengan posisi terlentang memandang cowok pe'a yang dengan santainya tiduran di sisiku dengan posisi menyamping seraya menopang pipi, menatapku jenaka.
"Lo punya banyak tahi lalat di muka."
Aku berkedip. Kemudian tersenyum kecut.
"Rambut lo ruwet."
"Lo punya gigi kelinci gede."
"Lo punya codet vertikal."
"Dagu lo lancip kek ujung tombak."
"Idung lo bengkok gak ngaca lo?!"
Yang tadinya santai-santai saja, kini aku mulai geram.
"Hahaha ..." cowok disampingku terkekeh renyah. Kemudian dijitaknya jidatku tanpa perasaan.
"Gak usah ngejitak issh." Aku mengusap-usap kening, dongkol.
"Bulu mata lo lebat kek jembut."
"Alis kanan lo kebelah," sahutku tak mau kalah.
"Masih mending alis gua kebelah dikit. Nah elo. Lo punya selulit di pantat."
"Hah?" cowok itu sukses membuatku melotot terkejut kali ini. "Kapan lo pernah liat bokong gue?!"
Benarkah dia sudah melihatnya?
Jangan-jangan dia pernah secara diam-diam mengintipku?
Cowok itu tidak berkata, tawa merdunya yang menjadi jawaban. Membuatku menyadari bahwa ejekannya barusan hanyalah bualan semata.
Lagipula, cewek dengan keahlian berlari di atas rata-rata sepertiku, dengan tubuh selangsing ini mana mungkin memiliki selulit di bokong.
Cowok disampingku ini sedang melawak.
"Dasar pendek."
"Lo nya aja yang kelewat jangkung. Gak nyadar lo kayak tiang listrik?!"
Aku membentak garang, cowok itu meresponnya dengan gelak tawa.
Setelah puas ngakak, si tukang ngejek itu mulai memandangku dengan tatapan maut. Mulai serius. Dia kemudian menindih tubuhku dengan posisi push up. Tubuh kami tak saling bersentuhan karena cowok itu menopang badannya dengan kedua tangan. Menciptakan ruang diantara kami.
Cowok itu mendekatkan mulutnya ke telingaku, membuat jarak diantara kami semakin menipis.
"Zura ..." bisiknya lirih.
Aku mendengarkan. Sedikitpun tak berani menoleh ketika deru napasnya menerpa hangat sisi wajahku.
"Mantap-mantap yuk."
DUAAAGGGHH
Refleks, ku tinju rahangnya sedahsyat mungkin membuat kepala cowok itu terpental ke atas.
Belum puas, ku tendang sadis perutnya membuat cowok itu jatuh terjerembab di lantai.
"Pe'a lo!" cibirku kejam.
Cowok itu mengusap-usap rahangnya efek tinju yang barusan ku layangkan secara refleks.
Aku beringsut duduk lalu ngesot perlahan untuk menyaksikan lebih dekat seorang cowok yang sepertinya ... kesakitan?
"Nyet, lo kenapa?" tanyaku, tak sepenuhnya khawatir.
"Lo gak liat rahang gua roboh anjir! Babi lo!"
Cowok itu ngegas.
Aku semakin ngesot hingga kini posisiku berada tepat di sisi ranjang.
"Sakit?" Aku ikut meringis menyaksikan raut wajahnya, tangannya sedari tadi tak henti-hentinya mengelus rahang sambil mendesis.
Cowok itu menatap wajahku beberapa detik, kemudian kedua iris kelamnya bergulir pelan ke arah rok mini hitam yang ku kenakan. Berkedip dua kali kemudian dia pun berdiri dengan tampang sok tegar.