Enam lima: Game

8 1 0
                                    

Duduk menyendiri di atas sofa ruang tengah, menggunakan kapas, ku bubuhkan obat merah di atas luka sayatan di jemari kiri ku yang disebabkan sebilah pisau. Sengaja tidak membebatnya dengan kasa ataupun plester. Membiarkan luka tersebut mengering dengan sendirinya. Luka di tangan kanan akibat tertusuk pecahan gelas juga tak luput dari perhatianku. 

Sedikit demi sedikit, ku obati luka fisikku. Namun untuk luka batin ... kurasa hanya waktu yang dapat memulihkannya.

Diluar, panas sedang terik-teriknya, namun hati sedang sakit-sakitnya.

Alih-alih refreshing berkeliaran melihat dunia luar, aku lebih memilih mengurung diri saja di dalam sangkar. Memanfaatkan waktu cuti ku dengan beristirahat saja di rumah.

Aku berharap semoga aku bisa tidur siang dengan nyaman, pulas dan juga nyenyak. Kumohon satu hari ini saja. Aku sudah seperti zombie. Kurang tidur. Setiap malam selalu kesulitan untuk terlelap.

Namun, tepat ketika kedua kaki ku langkahkan secara bergantian hendak menaiki anak tangga menuju kamar ...

BRUAKKK!

Pintu rumahku ditendang sedemikian kerasnya oleh si pemilik kaki jenjang yang tak ada angin tak ada hujan, makhluk itu mengulas senyum sumringah, melesak masuk ke dalam kediamanku dengan cara tak lazim.

"Ra, gua denger hari ini lo gak masuk kerja. Bagus, deh!" serunya heboh betul. "Main game yuk!" ajaknya dengan tampang tak berdosa.

Dengan santai, dia menyambungkan sendiri sistem PS4 pro yang dia bawa ke televisi di rumahku. Dia melakukan semua penyambungan sebelum menancapkan kabel listrik ke stopkontak.

Tanpa meminta izin terlebih dahulu pada sang pemilik rumah, cowok sinting itu dengan sekonyong-konyong memasang semua konektor sistem PS4, port input, kabel, controller, serta tetek-bengeknya dengan santainya seolah aku akan menyetujui untuk di ajak bermain game bersamanya seperti zaman SMA dulu.

Sungguh, ingin sekali ku hancurkan dengan martil PlayStation yang dibawanya dengan seenak jidat itu. Dia sungguh menganggap rumahku sebagai rumahnya sendiri.

"Lah, napa? Kok berdiri aja lo kek patung?"

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan perilaku nyelenehnya.

"Sumpah ya, makin dibentak makin ngelunjak." Aku bergumam. "Emang lo pikir lo anak umur tujuh tahun hah?! Lo pikir lo masih bocah apa?!"

Berulangkali aku hanya terus mendengus. Deru napasku kian memburu.

"Lah, emang kenapa?" kernyit Rifai polos. "Gua kan dateng kesini secara baik-baik—"

"Baik-baik pale lo pitak! Lo dateng kesini dengan cara nendang pintu apa itu yang disebut baik-baik?!"

"Oh." Rifai menatapku santuy. "Yauda yuk maen game. Mumpung lo libur kerja. Toh kita sama-sama lagi ada waktu, kan?"

"Sayangnya gue selalu gak punya waktu buat ngeladenin orang gila kayak lo!"

Tepat ketika aku berbalik hendak pergi, Rifai dengan cepat menarik bahuku. Berdiri di depanku, menghadang ku.

"Ra, sampe kapan lo mau ngehindarin gua kek gini?" Sorot serius Rifai lemparkan.

"Sampe lo enyah dari planet bumi!" sentakku lantang luar biasa. "Badan doang gede, jangkung, otak lo masih kayak bocah! Harus berapa kali gue bilang, jangan gangguin gue! Berenti ngusik hidup gue yang tenang! Minggat sana! Balik aja ke habitat lo! Jangan pernah temuin gue lagi! Ngeliat lo gue bawaannya pengen melihara anjing!"

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang