"Ra! Zura!"
Mendengar namaku dipanggil oleh suara bass-nya sudah cukup membuatku jengkel setengah mati di pagi hari yang cerah namun tak ceria ini.
Sebelum aku menoleh dan berbalik badan, cowok yang memanggilku sudah berdiri tepat di hadapanku sekarang. Mencegatku seperti kemarin.
"Balik sekolah nanti jalan yuk! Gua traktir!" ajaknya antusias.
Aneh. Cowok yang kemarin ku campakkan itu secara tiba-tiba bersikap manis hari ini seolah tak pernah terjadi masalah.
"Lo lupa?" Aku mendelik sinis. "Kita udah putus. Jadi lo gak punya hak buat ngajak gue jalan."
"Hah? Putus?" Cowok itu mengernyit. "Gua gak ngerasa tuh kalo kita udah putus. Lagian, putus secara sepihak gini gak sah namanya! Gua belum setuju woi!"
"Gue gak peduli tuh." Aku menggidikkan bahu acuh tak acuh. "Untuk putus dari lo, gue gak harus minta lo tanda tangan di atas materai, kan?"
Aku mengalihkan pandanganku, tak tertarik untuk meladeninya. Kaki kembali ku langkahkan menuju kelas XI IPA 2.
"Ra, mau sampe kapan sih lo bersikap kek gini sama gua?"
Kecewa. Aku menangkap nada suara kecewa yang terpancar dari suara bass milik Rifai. Cowok itu tidak membentakku hari ini.
Aku menoleh. Memastikan bahwa yang barusan berbicara adalah Rifai. Tak percaya bahwa kini cowok itu menatapku sendu.
"Emangnya lo pikir ... dulu gua bela-belain pindah sekolah kesini tuh karena siapa? Karena elo, Ra."
Aku mendongak cepat mendengar pengakuannya barusan.
Sebelumnya, aku memang belum pernah menanyakan secara langsung kenapa dia lebih memilih sekolah di SMA biasa daripada sekolah elite?
"Gua bisa aja sekolah di luar negeri nurutin perintah bokap gua. Tapi gak gua lakuin. Lo pikir gua ngelawan bokap gua tuh karena siapa?"
Aku diam mematung mendengar ucapan makhluk yang biasanya tak bermoral tetapi terlihat bagai binatang buas yang terluka hari ini.
"Tapi ... kalo lo bersikap kek gini terus sama gua ... gak ada alasan buat gua tetep tinggal disini."
"Jadi ... kalo gue terus-terusan nyuekin lo kayak gini, lo bakal pergi? Gitu? Ya udah minggat sana. Gak ada yang peduli juga!" sentakku culas.
Saat ini, koridor belum terlalu ramai seperti kemarin. Aku berjalan meninggalkan cowok yang hari ini sepertinya berusaha bersikap manis namun tetap ku abaikan dengan kejam.
Aku tidak main-main dengan nazarku kemarin. Aku sungguh tak ingin lagi berurusan dengan cowok yang sudah membuat bengkak wajah seseorang.
Terserah dia mau melakukan apa. Pergi dari kota ini atau bahkan pergi meninggalkan planet bumi pun, itu sungguh bukan urusanku.
"Zura!"
Ah sial. Sepertinya Rifai belum mau menyerah.
"Apa lagi sih, Fai?"
"Lo masih aja marah ya sama gua?"
"Gak marah, kok." Aku berbicara tanpa nada. "Gue cuma gak mau aja berurusan sama lo lagi, Fai. Peduli amat lo mau pergi atau nggak. Itu sama sekali bukan urusan gue."
Tidak ada teriakkan lagi setelah kini aku kembali melangkahkan kaki bergegas pergi.
Tak ada panggilan lagi di belakang sana.
Aku pun memutuskan tak akan menoleh.
Sekalipun, aku takkan berbalik badan.
***