Hari ini aku menjalani terapi dengan ditemani Mama yang bela-belain menempuh perjalanan jauh demi menemuiku, menepati janjinya untuk mengantarku terapi.
Di perjalanan pulang, dalam mobil, kami berbincang.
"Ma, Mama kan udah jauh-jauh dateng, Mama hari ini nginep, ya."
Mama tampak mempertimbangkan, "Gimana ya ..."
"Ayo dong, Ma. Sejak ketemu, Mama kan belum pernah nginep."
Mama memandang keluar jendela.
"Nginep dong, Ma. Cuma sehari aja, kok." Aku memelas. "Zura kan kangen banget sama Mama. Masa abis nganterin Zura terapi Mama langsung pergi, sih?"
"Ya udah deh, iya Mama nginep."
"Hah? Serius?" Mataku membola takjub, sudut mulutku terentang bahagia mendengar Mama menyetujui ajakan ku untuk menginap.
"Iya," sahutnya dihiasi sunggingan manis.
Terlampau senang, aku merangkul erat lengan Mama lalu menyandarkan kepalaku di bahunya. Mama mengelus lembut rambutku dengan tangannya yang lain.
"Oya!" Aku kembali menegakkan badan. "Pak Renaldi, kita ke rumah sakit, ya. Eh tapi, beli buah-buahan dulu, deh."
"Lho, siapa yang sakit?" Mama mengernyit.
Aku menjelaskan bahwa aku ingin menjenguk temanku—Rizlan yang beberapa hari ini dirawat inap.
***
"Lho, Tante Leony?" Rizlan tampak takjub melihat siapa yang datang membesuk.
Mama mengulum senyum. Beliau menghampiri Rizlan.
"Kata Zura, kamu kecelakaan, ya? Gimana keadaan kamu sekarang?"
Dibelakang punggung Mama, aku mencondongkan kepalaku, memberi kode meminta Rizlan untuk mengangguk saja.
"Um, i- iya, Tante." Rizlan menangkap kode kerasku. Dia menjawab dengan meringis.
Aku sengaja mengatakan pada Mama bahwa Rizlan dirawat di rumah sakit karena kecelakaan motor. Ku lakukan ini karena aku tidak mau melibatkan nama Rifai, khawatir nanti urusannya akan panjang.
"Ta- tapi sekarang saya udah baik-baik aja kok, Tante. Bahkan, kata dokter hari ini saya udah boleh pulang."
"Oya? Syukurlah ..." Mama mengulas senyum lega.
Beberapa minggu dirawat, kondisi Rizlan sudah berangsur pulih. Bahkan kini lehernya sudah tidak dipasangi korset penyangga lagi. Tangan yang sebelumnya patah juga sudah bisa dia gerakkan. Wajah yang sebelumnya bengkak dipenuhi luka lebam juga berangsur membaik. Beruntungnya, tidak ada bekas luka yang berarti disana.
Aku meraih buah apel dari dalam keranjang parsel untuk kemudian mengupasnya dengan menggunakan pisau.
"Gue potongin apel ya, Riz, buat kebutuhan vitamin harian lo."
Rizlan terkekeh kecil. "Thanks, Ra."
"Oya, sebelumnya makasih banyak ya, Tante udah repot-repot jengukin saya." Rizlan terlihat tak enak hati.