"Ra, gue minta maaf ... gue bener-bener minta maaf ..."
Suara yang samar-samar ku kenali, suara dari seseorang yang selalu memanggilku dengan nada serak terdengar semakin jelas di telingaku.
"Gue janji ... setelah lo bangun nanti, gue gak akan pernah bersikap jutek kayak dulu lagi sama lo ..."
Perlahan-lahan, mataku terbuka.
Terlihat visual wajah sendu cowok dari samping yang hanya dipisahkan beberapa senti saja.
Aku menatap lekat wajahnya, samar-samar sedikit mengabur, sebelum akhirnya kembali jelas sepenuhnya.
Rizlan ...
Aku ingin memanggil namanya secara langsung dengan mulutku sendiri namun terasa sangat sulit. Aku tak dapat berbicara.
Terasa sekali ada selang plastik lunak yang dimasukkan melalui lubang hidungku.
Apakah ini tabung nasogastrik?
"Zu- Zura? Lo u-udah sadar?"
Rizlan membelalakkan matanya melotot seakan tak percaya melihatku yang baru saja terbangun.
Ini dimana?
Rizlan masih terus terpaku, tercenung menatapku dengan sorot horor seolah wajahku ini jumpscare.
Cowok itu menegakkan tubuhnya, menggeleng dengan mulut menganga seraya mengerjapkan matanya beberapa kali.
Tak berapa lama, seorang lelaki yang mengenakan jas putih lengan panjang muncul, mengecek keadaanku. Seorang wanita dengan stelan blazer yang datang sedikit terlambat membantu lelaki paruh baya tadi untuk melepas selang yang menyumbat pita suaraku hingga terasa sampai ke lambung.
Mereka mengevaluasi kondisiku. Melakukan berbagai pemeriksaan fisik. Lelaki dengan snelli putih itu mengatakan bahwa kini sudah ada perbaikan yang signifikan pada 'pasien'.
Kedua orang itu pamit pergi membiarkan aku hanya ditemani Rizlan.
"Ini dimana, Riz?" Aku akhirnya dapat berbicara meski teramat parau. Suaraku sangat serak seakan sudah tertidur pulas dalam waktu yang teramat panjang. Tenggorokanku perih luar biasa saking keringnya.
"Riz, ini dimana?"
"I-ini di rumah sakit, Ra."
"Rumah sakit?"
Aku menunduk memandang tangan kiriku yang dipasangi infus. Terasa sekali jarum tajam menancap dalam di lapisan kulit hingga menembus pembuluh vena.
Aku sungguh tidak mengerti, kenapa aku berbaring disini?
Sejak kapan?
Kepalaku berdenyut ngilu, terlalu berat untuk ku pakai berpikir. Sakitnya benar-benar sampai membuatku harus menahan napas.
Rizlan masih saja menatapku, sesekali aku meliriknya dengan ekor mata.
Kedua mata cowok itu berkaca-kaca. Terlihat masih tidak percaya kalau aku telah sadar dan kini tengah berbicara dengannya.
"Ra ... gu-gue gak mimpi, kan?"
Aku tertegun. Menatapnya bingung. Ku ulurkan tangan kanan, hendak menggapainya. Namun langsung kembali terkulai. Tanganku sungguh-sungguh terasa lemas. Tak punya tenaga sama sekali. Sudah berapa hari aku tidak makan dan minum?
Haus.
"Lo sebenernya ngapain sih disini, Riz? Balik gih ... gue masih pengen tidur ... badan gue capek banget ..." Aku terkantuk-kantuk. Tubuhku rasanya lelah luar biasa. Sekujur tubuhku sungguh-sungguh lemas. Kepalaku berdengung ngilu.