Empat delapan: Badai

8 1 0
                                    

Dalam persiapanku ke Prancis, aku membohongi tiga orang sekaligus.

Mama, Papa, dan Rizlan.

Papa mengundang Rizlan untuk makan malam bersama. Sedangkan aku mengundang Mama. Mengajaknya untuk bersantap bersama kami di rumah.

Disaat sedang berkumpul seperti ini, aku merasa inilah moment yang paling tepat untuk mengutarakan niatku. Meminta izin pada mereka semua bahwa aku akan pergi ke Prancis dalam waktu dekat.

"Jadi kan temen Zura bentar lagi mau ulang tahun, nah dia ngundang Zura buat dateng kesana, Pa, Ma."

Sambil sesekali melahap olahan gurita di atas meja, Rizlan menatapku. Keningnya berkerut.

"Temen kamu yang mana?" kernyit Papa.

"I- itu lho Pa, temen Zura yang Zura kenal waktu di Singapore." Aku tergugup.

"Oh ... temen kamu yang di Singapore." Papa manggut-manggut.

"Jadi, temen kamu yang di Singapore itu mau ngerayain ulang tahunnya di Paris?" Kali ini Mama yang bertanya. Sesekali, dengan santai Mama menyeka sisa tom yam cumi di sudut mulutnya dengan tisu.

"I- iya, Ma." Lagi-lagi aku tergugup. Melempar senyum, tetapi justru ringisan resah yang terukir di wajahku saking gugupnya. Beberapa kali kesulitan menelan ludah.

Sungguh, Tuhan ... aku terpaksa melakukan ini.

Terpaksa membohongi orangtuaku sendiri ... juga membohongi Rizlan.

Ini semata-mata ku lakukan karena aku tidak ingin menyakiti hati mereka.

Papa yang dahulu begitu mendukungku untuk bisa lebih dekat dengan si sulung Prakasa, berubah kecewa saat menyaksikan langsung pemuda yang waktu itu masih duduk di bangku SMA dengan brutal menghajar Rizlan di depan mata kepalanya sendiri. Tanpa ampun. Papa jelas sangat kecewa padanya. Begitupula Mama. Mama tidak menyukai laki-laki yang kasar. Tidak suka jika aku berhubungan dengan lelaki tempramen.

Dan Rizlan ... tentu saja aku juga harus berbohong padanya.

Rizlan itu menyukaiku. Akan sangat menyakitkan jika aku mengatakan yang sejujurnya padanya bahwa aku pergi ke Prancis karena ingin menemui cinta pertamaku, Rifai.

Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Rizlan nanti jika dia tahu yang sebenarnya. Tidak. Jangan sampai dia tahu. Makanya aku merancang segala kebohongan ini.

Aku tidak ingin menyakiti perasaannya.

"Berapa hari kamu disana?" tanya Papa sesaat setelah menyendokkan olahan udang beserta nasi putih ke mulutnya, mengunyahnya sebentar, lantas meneguk segelas air putih.

"Mungkin sekitar tiga hari lah, Pa. Gak akan lama, kok. Kita cuma mau kumpul-kumpul aja disana. Yah, sekalian nikmatin salju."

"Oh iya ya, bulan ini Prancis udah mulai masuk musim salju." Papa berujar. Sedangkan Rizlan, cowok itu hanya terus mengunyah dengan lahap hidangan yang tadi ku masakkan khusus untuknya. Sesekali sorot curiga dia lemparkan padaku membuatku sungguh merasa tak enak hati karena harus berdusta seperti ini.

"Riz, enak makanannya?" Aku mencoba mencairkan suasana dengan berbasa-basi.

Cowok yang kutanya meluruskan pandangannya padaku yang duduk tepat di samping Mama, sedangkan cowok itu sendiri duduk di kursi seberang disamping Papa.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang