Delapan belas: Biadab

15 1 0
                                    

Ku tatap dengan seksama wajah cowok yang meskipun sedang tidur, tetapi tetap terlihat garang.

Rizlan.

Di usianya yang baru menginjak tujuh tahun, cowok itu sudah dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa Ibunya telah tiada.

Sejak masih sangat belia, hidup cowok itu telah dipenuhi penderitaan yang sungguh sedikitpun tak dapat ku bayangkan betapa menyakitkannya.

Ibunya dibunuh di depan matanya sendiri.

Setidaknya, itulah yang diceritakan Oma kemarin ketika aku hendak pulang dari rumah sakit setelah menjenguk cucunya.

Saat itu, beberapa tahun yang lalu, ketika Ibunya dibunuh, Rizlan kecil hanya dapat bersembunyi di dalam lemari sambil terisak. Menyaksikan Ibu kandungnya tewas secara mengenaskan.

Ibunya sendiri yang memaksanya untuk bersembunyi dalam lemari dan jangan pernah keluar apapun yang terjadi. Bocah yang masih sangat polos itu mau tak mau menurut saja pada apa yang diperintahkan sang Ibu hingga akhirnya ia menyaksikan sendiri perut sang Ibu ditikam dengan sangat kejam oleh seorang lelaki tak dikenal.

Tetapi, untunglah polisi segera tiba dan berhasil meringkus lelaki gila tersebut.

Tak lama setelah itu, Oma dan Opa tiba di TKP dengan sangat panik, berlari kalang kabut mencari keberadaan cucu mereka dan disanalah ia. Bocah kecil itu sedang memeluk erat sang Ibu sambil menangis sesenggukan.

Cairan merah kental berbau anyir terus mengalir deras dari perut Ibunya yang entah sudah berapa kali mendapat hantaman senjata tajam.

Oma dan Opa terkejut setengah mati melihat menantu mereka yang sudah berlumuran darah tak bernyawa. Wajahnya yang cantik sudah tak lagi berbentuk. Darah bukan hanya mengalir dari perut tetapi juga dari wajahnya. Lelaki yang membunuhnya bukan hanya menikam perut tetapi juga memukuli wajahnya hingga hancur.

Rizlan yang masih sangat kecil itu mengamuk meraung tak mau dipisahkan dari sang Ibu. Ia bersikeras mengatakan bahwa Ibunya masih hidup. Ibunya masih bernapas.

Namun, semua orang tahu betul bahwa wanita yang wajahnya bahkan sampai tak dapat dikenali itu telah tiada. Tubuhnya sudah tak lagi hangat, napasnya sudah tak terdengar, denyut nadinya telah menghilang, aliran darahnya telah berhenti.

Dengan tubuh yang juga berlumuran darah, Rizlan kecil terus mendekap erat sang Ibu. Merengkuh kepalanya. Menciumi wajahnya. Tak membiarkan siapapun memisahkannya.

Yang lebih buruk lagi, Ayah Rizlan yang dikabari mengenai istrinya melalui sambungan telepon, ditemukan kecelakaan ketika di perjalanan menuju TKP.

Mobil yang dikendarai Ayah Rizlan lepas kendali. Akibatnya, mobil tersebut menabrak pohon besar. Kecelakaan itu menyebabkan mobil Ayah Rizlan terbakar dalam sekejap. Nyawanya tak dapat diselamatkan.

Waktu itu, polisi mengatakan, mobil yang di kendarai oleh Ayah Rizlan mengalami kecelakaan mengerikan setelah mengalami kebocoran cairan power steering. Hal tersebut berdasarkan penyelidikan yang menemukan adanya bukti ledakan cairan di lokasi kejadian. Namun, polisi tersebut juga mengungkapkan hanya terdapat sedikit tanda bekas ban menandakan mobil lepas kendali. Selain itu, hal tersebut menunjukkan, mobil melaju dalam kecepatan super tinggi.

Sepanjang bercerita, Oma tak henti-hentinya meneteskan air mata.

Aku yang orang asing ini, seolah begitu dipercayai hingga beliau sampai menceritakan kisah kelam yang terjadi pada keluarganya. Padahal aku tahu betul, pasti rasanya sungguh berat untuk menceritakan kisah tersebut. Mau tak mau, Oma dan Opa harus menerima kenyataan bahwa menantu mereka meninggal karena terbunuh dan di waktu yang bersamaan, putra kandung mereka mengalami musibah kecelakaan yang langsung merenggut nyawanya. Selain itu, mereka juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa cucu mereka mengalami fobia atas efek kejadian memilukan tersebut.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang