"Hei, Ibu Chef."
Seorang lelaki berkemeja rapi dengan jambang tipis yang baru saja keluar dari Porsche hitam mengkilap itu langsung menyapaku dengan sebutan yang membuatku tak dapat menahan tawa.
"Bisa aja nih, Bapak Seniman." Aku membalas sapaannya. Cowok itu terkekeh renyah.
Senyum khas dengan lesung pipi yang dalam itu masih tetap dia pertahankan saat tangannya terangkat, mengajakku berjabat tangan. Aku dengan senang hati menyambut uluran tangannya.
"Udah lama banget, ya."
"Siapa di antara kita yang paling sibuk sampe gak ada waktu buat sekedar mampir ke kota kelahirannya sendiri?"
Aku mengangkat sudut mulutku, mencibir. "Lo nyindir gue?"
Rizlan mendengus, mulutnya terkatup, berhenti tersenyum. Dia kini memasang raut masam.
"Suruh siapa gak pernah pulang?" ketusnya.
Aku menghela napas, bibirku mengerucut. "Iya, iya, gue tau, gue salah. Terlalu sibuk dan terlalu fokus sama kerjaan gue di luar negeri sampe gak pernah sekalipun pulang. Tapi selama ini komunikasi kita gak pernah terputus kan, lancar-lancar aja—"
"Ada sesuatu yang cuma bisa diobatin dengan 'pertemuan', Ra. Bukan sekedar lewat chat ataupun telpon," ujarnya dengan nada serius.
"Ya tapi selama ini kita sering video call juga, kan?"
"Iya 'sering'. Ada lah dua kali kita video call-an selama setahun terakhir gak ketemu secara langsung."
Suara tajam Rizlan membuatku semakin merasa bersalah saja rasanya.
Cowok itu membuang muka saat aku menatapnya. Dia terlihat sangat kesal membuatku semakin cemberut.
"Riz?" Aku memiringkan kepala berharap di notice cowok yang terus-menerus membuang muka. Mengalihkan pandangannya dariku. "Lo bete banget ya sama gue?"
Canggung, aku hanya memelintir kancing-kancing piyama putih bermotif tengkorak hitam yang ku kenakan, tak tahu bagaimana cara menghibur cowok yang pagi-pagi sekali sudah muncul tanpa mengabari terlebih dahulu. Kami berdiri tepat di teras rumahku saat ini.
"Riz, lo ngambek?"
Rizlan menyahut dengan pelototan.
"Ya udah gini aja deh, gue minta maaf, ya." Aku meringis tak enak hati. "Apa yang harus gue lakuin supaya lo gak marah lagi?"
Rizlan langsung menyunggingkan senyuman lebar dengan mata berbinar-binar seolah sedari tadi dia menungguku untuk mengucapakan kalimat ini. Dia berhenti melipat kedua tangannya.
"Lo gak mau gue marah, kan?"
Aku menggeleng pelan dengan bibir memonyong.
Cowok yang berdiri di hadapanku terlihat begitu sumringah. Bahkan kedua matanya juga ikut tersenyum.
"Lo mau nebus kesalahan lo, kan?"
Aku mengangguk cepat. "Iya, Riz, gue mau nebus kesalahan gue. Tapi gimana caranya?"
"Gampang." Rizlan mengukir seringai misterius. Cowok itu secara tiba-tiba mencondongkan kepalanya mendekat ke arahku membuatku sedikit memundurkan wajah agar jarak kami tak terlalu tipis. "Seharian ... sama gue."