Dua dua: Ding dong

15 1 0
                                    

Ding dong ... Ding dong ...

Karena belum memiliki ART baru, mau tak mau akulah yang bertugas membuka pintu untuk mengetahui siapa yang datang berkunjung.

Dengan tertatih-tatih, ku langkahkan kakiku dengan susah payah menuruni anak tangga menuju pintu.

Ding dong Ding dong Ding dong Ding dong Ding dong Ding dong Ding dong
Ding dong Ding dong Ding dong Ding dong

"Hih gak sabaran amat! Siapa sih yang malem-malem gini dateng ke rumah orang?!"

Aku berteriak gusar. Tak peduli siapapun yang datang berkunjung, akan ku omeli habis-habisan orang tersebut. Akan ku caci maki dia.

Saat pintu dibuka, tidak mengejutkan, yang menekan bel secara ngegas ternyata Rifai.

Sudah kuduga.

Aku berdecak kesal, "Ngapain lo kesini? Gak puas lo ngehajar si Rizlan tadi siang? Udah sana balik!"

Ketika hendak menutup kembali pintu, cowok yang berdiri di luar sana menahannya.

"Kok ditutup lagi, sih? Gua tamu, lho!"

"Males banget gue ngelayanin tamu macem lo. Udah sana pulang! Gue gak mau ketemu sama lo!"

"Enak aja lo ngusir-ngusir gua!"

Cowok bebal itu terus menahan pintu agar tidak tertutup membuatku harus mengerahkan segenap tenaga untuk melawan kekuatannya yang meskipun jauh lebih besar dariku, tetapi aku tak mau kalah, aku tetap berusaha menjaga pertahananku.

"Issh, udah sana pulang, Rifai. Jangan maen kesini. Gue sebel banget sama lo. Gue lagi gak pengen ngeliat muka lo!"

"Napa sih lo sensi amat sama gua?!"

"Pake nanya lagi! Udah sana balik! Gue gak mau ngomong sama lo!"

"Napa sih lo judes banget, Ra? Salah gua apa?"

"Ya ampun ... lo masih belum sadar juga?" Aku mendelik tak habis pikir. "Tadi siang lo udah ngehajar si Rizlan habis-habisan sampe babak belur, terus dengan entengnya lo nanya 'salah gua apa?' Emang dasar gada otak lo!"

"Tapi si Rizlan juga bales ngehajar gua, Ra! Lo gak liat apa muka gua juga bonyok?"

Mendengarnya, pertahananku melemah. Pintu terbuka sepenuhnya menampakkan cowok jangkung berjaket hitam yang berdiri di hadapanku dengan wajahnya yang ... benar, dia babak belur.

Aku mendengus. Memalingkan wajahku darinya.

"Sehari ini aja deh, Fai, lo balik aja. Gue lagi gak mau debat sama lo."

Aku berbicara tanpa memandang wajahnya. Tanpa tenaga. Juga tanpa nada.

"Napa, sih? Kok kesannya gua kek pemeran antagonis dalam kisah ini?"

Mendengar penuturannya, sontak saja kepalaku langsung melengak dengan mata membulat sempurna menatap visual wajah Rifai yang entahlah ... wajah yang biasa terpasang bengis macam singa itu, kini terlihat begitu sendu. 

Bahkan, netra buasnya kini berubah sayu.

"Gua tau gua salah, Ra, tapi meskipun lo sadar kalo si Rizlan juga bersalah, tetep aja lo belain dia."

"Gue gak belain siapa-siapa, kok." Aku menggeleng. Rifai melempar seringai sinis.

"Jelas-jelas lo belain dia. Masih mau ngelak?"

"Tuh kan, kalo lo dateng kesini cuma mau ngajak ribut doang, mendingan lo pulang aja, deh." ujarku risih betul.

"Oke, oke, kalo lo lagi gak mood buat ribut sama gua, gua gak bakal ngajakin lo ribut."

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang