Empat puluh: Pergi

6 1 0
                                    

"Ngantin yuk!" ajak Olla antusias.

"Ayo!" Aku menjawab tak kalah antusias.

"Rul, ngantin yuk!" kali ini Olla mengajak kekasihnya. Sedangkan aku berteriak memanggil Rizlan untuk ku ajak ke kantin juga. 

"Riz!"

Cowok itu menoleh. Aku berusaha bangkit berdiri menggunakan tongkat kruk yang kemarin dilempar ke sembarang tempat oleh Rifai. Untungnya ada beberapa adik kelas yang menemukan, lantas mengembalikannya padaku. Mereka hafal betul, siapa satu-satunya orang di sekolah ini yang berjalan menggunakan tongkat kruk.

"Riz, yuk ke kantin!"

Rizlan mengangguk. Dia mengulum senyum. Lalu bangkit dari duduknya.

"Rul! Ayo cepet!" Olla merangkul lengan Rully lalu menyeretnya.

"Gue nanti aja deh nyusul, mau mabar dulu bareng si Defaz."

"Ih, nanti aja deh mabarnya, abis jajan."

Rully berdecak. "Ya udah deh ayo."

Olla tersenyum sumringah.

Kami berempat menyusuri koridor, menuruni anak tangga, melangkah sambil berbincang seru melewati lorong-lorong kelas di lantai dasar. Sesekali, Olla dan Rully melontarkan banyolan kocak, aku dan Rizlan tergelak. Kami sudah dekat dengan kantin. Namun ... langkah seketika terjeda tatkala kini kami berpapasan dengan rombongan Rifai.

Mataku secara refleks terpaku padanya. Rifai juga balas menatapku. Namun hanya keheningan di antara kita. Tak ada satupun orang yang bersuara.

Rifai menatapku dengan tampang datar. Sedangkan aku menatapnya nanar.

Tanpa sepatah kata, Rifai berlalu begitu saja melewatiku seperti orang asing. Seperti orang yang tak pernah mengenalku. Seakan kita tak pernah berteman. Seolah kita tak pernah bertengkar.

Aku menggigit bibir resah. Tetapi Olla secepatnya merangkul bahuku lembut.

"Ra, lo gapapa, kan?" Olla berbisik lirih. Aku mengangguk pelan.

"Gapapa kok, yuk cabut."

Sama seperti Olla, Rizlan menatapku cemas. Sesekali dia menoleh memandang punggung Rifai.

"Ra, gue bingung, si Rifai kenapa nyuekin lo?" Rully yang bertanya. Dia menyuarakan rasa penasarannya.

Jangankan menjawab, di pikiranku sendiri terlintas pertanyaan. Kenapa Rifai mencampakkan ku? Kenapa dia bersikap seolah tak mengenalku? Kenapa hari ini dia tidak membentakku?

Apakah permohonan yang ku lakukan kemarin telah berhasil membuatnya bersikap jutek seperti itu?

Apakah ini artinya aku sudah berhasil terlepas dari belenggunya?

Apakah nanti Rifai tidak akan menggangguku lagi?

Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang hanya bisa dijawab oleh waktu.

Rifai itu ... selalu tak terduga.

Lihat saja nanti, kegilaan apa yang akan dia lakukan. Aku akan mengambil ancang-ancang dari sekarang. Jika dia membuat kekacauan lagi di sekolah, aku tak akan segan-segan untuk segera melaporkannya pada pihak berwajib. Pada presiden kalau perlu.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang