Berbeda dengan kemarin, hari ini aku menggunakan tongkat kruk alumunium untuk membantuku berjalan.
Aku sangat bersemangat untuk membuka lembaran baru hidupku.
Aku akan menjemput Zura yang dulu.
Zura yang pantang menyerah.
Zura yang pantang menangis.
Aku sudah rindu pada Zura yang selalu dipenuhi api semangat yang membara.
Aku rindu Zura yang penuh akan keceriaan.
Ku pastikan, semua itu akan kembali lagi mulai hari ini.
"Eh liat deh, dandanannya tetep ya kayak preman, tapi ya masa preman pake kruk, sih?"
"Hahaha ... kasian banget gak, sih?"
"Malangnya ..."
"Udah gak bisa jalan ya dia?"
"Sok cantik, sih."
"Sok berkuasa juga mentang-mentang ponakan kepsek."
"Emang enak sekarang udah gak bisa jalan."
"Sssttt ... ntar dia denger, lho!"
Tenang saja, aku akan berpura-pura tak mendengarnya kok agar kalian senang. Agar kalian bisa secara bebas menggunjing. Menghinaku.
Akan ku jadikan segala cemoohan itu sebagai bahan bakar untukku kembali bangkit menorehkan prestasi.
Pembalasan dendam ku adalah dengan menunjukkan kesuksesan.
"Zura!"
Dengan terengah, Rizlan menghampiriku yang tengah melangkah tertatih-tatih menyusuri lorong-lorong kelas.
"Gue bantuin, ya."
"Bantu?" Aku mengernyit. "Mau ngegendong gue sampe kelas? Gue bisa jalan sendiri kali."
"Kenapa lo gak pake kursi roda aja, sih?"
"Ribet ah. Enakan pake tongkat aja."
"Gue bantu mapah, ya." Rizlan menggenggam tangan kananku.
"Riz, gak usah terlalu khawatir gitu deh, ini gue udah pake tongkat, lho."
"Woi!"
Seseorang menepis kasar genggaman Rizlan dari tanganku.
"Gak usah pegang-pegang lo!"
Cowok itu menoleh padaku, nada suaranya dia ubah sedikit lembut, "Gua yang bakal jagain lo, Ra."
Bola mataku akan benar-benar melompat jika saja tak berhasil ku tahan.
Sungguh, aku tidak percaya kalimat itu terlontar dari mulut ...
"Rifai?"
Katanya Rifai akan menjagaku?
Bulshit.
Yang akan dia lakukan padaku pasti hanyalah siksaan. Aku jamin itu.
Lihat saja nanti.
Lagipula, setelah sekian lama, bahkan sampai aku keluar dari rumah sakit, cowok itu baru muncul.
Entah kemana saja dia selama ini?
Tidak tahukah dia bahwa setelah kecelakaan, aku masih hidup. Aku bertahan hidup.
"Lo dateng-dateng langsung ngomong kayak gitu maksud lo apa, sih?" sudut bibirku terangkat sinis membentuk cibiran, mataku menyorot tajam.
Rifai berbalas menatapku. Sorot tajamnya berubah tatkala netranya bergulir memandang kakiku.