Tujuh tiga: Bujuk

8 1 0
                                    

"Gas."

"Eh, Kak Zura!"

Bagas membuka pintu apartemennya, berseru gaduh tatkala melihatku datang.

"Kakak kamu mana? Udah bangun belum dia?" Aku nyelonong masuk. Celingukan. Padahal adiknya sudah terlihat segar. Begitu tampan, rapi, dan juga wangi, tetapi kakaknya justru belum kelihatan.

"Oh, masih tidur dia, Kak."

"Hah? Masih tidur?!" Aku melotot tak habis pikir. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 09:30. "Kok belum bangun, sih? Kan kemarin Kakak titip pesan sama kamu, bangunin Kakak kamu pagi-pagi."

Sebelumnya memang aku sudah bertukar kabar dengan Bagas. Menyusun rencana untuk memberi Rifai sebuah kejutan. Tetapi justru si pemeran utama jam segini belum juga bangun.

"Udah dari tadi Bagas berusaha bangunin dia, Kak, tapi susah banget." Bagas geleng-geleng kepala tampak kewalahan. "Sampe serak ini suara gara-gara cuma bangunin dia doang."

"Ya udah yuk kita bangunin bareng-bareng," ajakku. Bagas mengangguk patuh.

Tok tok tok ...

Ceklek ...

Bagas mengetuk pintu, namun aku langsung inisiatif membukanya saja.

Ternyata benar. Matahari pagi sudah bersinar terik, namun makhluk yang hendak ku jemput itu masih terkulai di atas tempat tidurnya dengan posisi menyamping, membelakangi kami.

"Kak, woi, bangun!" Bagas menyeret paksa selimut tebal yang dikenakan abangnya membuat cowok itu sontak meraung murka.

"Paan sih lo! Gangguin gua mulu lo dari tadi!" Meski gusar, Rifai tetap saja memejamkan matanya, enggan terjaga. Tampak masih sangat mengantuk.

"Bangun, Kak, udah siang!" seru Bagas, tampak tengah berusaha membendung gejolak emosi dalam dada.

"Keluar lo dari kamar gua!" raung makhluk barbar itu mutlak. "Tiap hari gua pulang malem mulu, capek, ngantuk, mo tidur. Gua gak bakalan bangun meski suara bom sekalipun!"

"Bahkan meskipun ada gue disini?"

Terperanjat kaget cowok brutal itu mendengar suaraku. Langsung melompat dari kasurnya dia dengan penuh semangat, melempar selimut entah kemana. Heboh sekali.

Aku berdiri seraya melipat kedua tangan di dada, jutek. Kedua netraku melempar sorot membunuh.

Cowok itu melotot horor tampak seolah tak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Lo ... sejak kapan ada di kamar gua?"

***

"Ra, pagi-pagi gini lo mau ngajak gua kemana sih elahhh ..." Sedari tadi Rifai terus saja menggerutu. "Seenggaknya lo masakin gua sarapan dulu kek, gak tau gua laper apa."

Ku kemudikan kendaraan milikku dengan kecepatan sedang menuju tempat yang pasti akan sangat mengejutkannya.

"Lo juga, Gas." kali ini amarahnya tertuju pada sang adik. "Gua yakin, lo pasti sekongkol kan sama nih cewek?! Ngaku lo. Mau bawa gua kemana lo berdua?"

"Nanti juga Kakak tau." Dari jok belakang baris kedua Bagas menyahut.

"Dasar adek gak guna lo!" sentak Rifai gusar. Namun Bagas, anak itu dengan santai kini memasang earphone di telinganya. Melipat kedua tangan di dada. Memejamkan mata. Tampak sangat menikmati alunan lagu.

"Woi, Ra. Mau bawa gua kemana sih lo? Gak tau gua laper apa?!" Mengamuk cowok itu. "Woi."

"Berisik issh, gue jadi gak fokus nyetir ntar." ku balas dia dengan amukan juga. "Lagian siapa suruh bangun jam segini?!"

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang