Semua orang pasti mengidamkan untuk berada di posisi teratas yang ada di dapur yaitu Executive Chef.
Kepala dapur atau Executive Chef adalah salah satu jabatan terpenting dari kitchen hierarchy.
Tanggung jawab pokok dari Executive Chef alias Head Chef sebenarnya lebih banyak pada perihal administrasi seperti membuat menu, mengatur serta mengawasi seluruh tugas-tugas dapur. Tugas yang lebih khususnya adalah dalam proses pengadaan dan pengolahan makanan wajib sesuai dengan standar yang telah ditetapkan termasuk membuat food cost.
Sebagai Executive Chef, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat kerja, dan saat ini aku tengah sibuk mengecek daftar pesanan barang ke gudang.
"Maaf mengganggu, chef." Anita, seorang resepsionis yang biasa bertugas untuk menyambut calon pelanggan yang datang serta menentukan dimana para tamu akan duduk, menghubungiku melalui sambungan telepon.
"Iya, kenapa, Kak Nit?" tanyaku pada wanita berusia dua enam itu.
"I-ini chef, a-ada tamu yang katanya mau ketemu chef Zura."
"Ketemu saya?" kernyitku. "Siapa?"
"Pas saya tanya, beliau gak mau ngasih tau namanya, chef. Katanya kalau mau tau, minta chef Zura aja samperin sendiri. Gitu chef katanya."
Aku sedikitpun tidak bisa menebak, siapa yang katanya ingin bertemu denganku pagi-pagi begini?
***
Dengan gaya rambut jadul belah tengah, seorang laki-laki berkulit agak gelap dengan setelan jas maroon serta celana formal yang juga berwarna merah maroon itu mengulurkan tangannya padaku disertai senyum yang alih-alih ramah, namun justru terlihat janggal.
"Hai, selamat pagi, chef!"
Aku belum mengulurkan tangan, dia dengan lancang menyambar tanganku untuk dia ajak salaman.
"Senang sekali bisa bertemu langsung dengan wanita hebat seperti Anda ..."
"Maksudnya?"
"Yah, maksud saya, chef Zura itu kan cukup populer sebagai chef yang dikenal dingin. Tapi ternyata kalau sudah ditemui secara langsung, chef keliatan manis kok," ujarnya tengil.
"Maksud Anda apa, ya?" tanyaku mulai tak nyaman. Suasana saat ini terasa sangat disturbing mengingat sejak tadi laki-laki yang berdiri di hadapanku itu tersenyum menakutkan.
"Ah, tolong jangan salah paham," ralatnya. "Maksud saya, saya sangat salut pada Nona Zura yang sudah sangat sukses di usia yang masih sangat muda. Anda adalah seorang panutan."
Aku tidak merasa tersanjung mendengar pujiannya. Keningku terus saja mengernyit bingung dengan mata memicing. Merasa sangat tidak nyaman. Apalagi saat ini aku tengah mengobrol dengannya di dalam ruangan ku di lantai atas. Berdua saja.
Secara tiba-tiba laki-laki berkumis tipis yang kutaksir berusia tiga puluhan itu mengulurkan tangannya, kembali menyambar tanganku untuk salaman. Kali ini dengan lancang dia mengusapnya dengan jarinya.
Aku meringis ngeri. Tetapi tidak dapat melawan karena memikirkan citraku yang sebagai seorang chef dan juga memikirkan citra restoran yang baru kurintis beberapa bulan saja. Kalau orang-orang tahu aku berbuat kasar, habislah sudah riwayatku.
"Saya sampai lupa memperkenalkan diri saking takjubnya melihat wanita secan— maksud saya semuda Anda, chef Zura, Ehehehe ..."
Tolong jangan tertawa. Itu terlihat sangat mengerikan melihat mulutnya yang cengir lebar, tetapi justru mata belonya melotot memandangiku.