"Sumpah ya, gue masih ngerasa kalo ini tuh kayak mimpi," ujarku sesaat setelah berpelukan beberapa lama dengan sahabat baikku. Olla. Aku mengimbuhkan, "Kita yang biasanya kontekan cuma lewat video call, chat, itu pun curi-curi waktu di sela-sela kesibukan, akhirnya bisa kumpul bareng secara langsung. Ngingetin zaman kuliah dulu."
"Iya ya, gue juga gak nyangka banget bisa kumpul bareng kayak gini." mata sayu milik Olla tampak berbinar-binar. "Masih berasa gak nyata. Padahal tau sendiri dong, kita sama-sama punya kesibukan masing-masing. Apalagi elo, Ra. Di antara kita, cuma lo doang yang tinggal di luar negeri. Susah deh buat ketemu."
"Oya, btw gimana kerjaan lo di Singapore?" kepo Rully.
"Yah, kayak yang lo tau, gue sering terpilih buat ikut kompetisi masak. Bersyukur banget bisa bawa pulang banyak penghargaan. Tapi semua itu gak bikin gue cepet puas, sih. Jiwa gue terlalu bebas. Gue masih pengen banyak belajar sesuatu yang baru. Oya, kalo kalian gimana? Jadi WO tuh ribet gak, sih?"
"Bukan lagi ..." Olla menggeleng miris. "Lo tau kan kasus viral penipuan WO yang udah ngasih harga murah terus taunya duitnya dipake buat kebutuhan pribadi dan ngerugiin pihak calon pengantin? Gue sama Rully sebagai WO dapet imbasnya juga. Ada beberapa orang yang takut secara berlebihan kalo mau ngegunain jasa WO."
"Iya, si Olla bener, Ra." Rully menimpali. "Tahun kemarin kita tuh lagi apes banget. Tapi yah, yang namanya rezeki gak bakal ketuker. Roda terus berputar. Kita berusaha bangkit. Berusaha nunjukkin ke masyarakat kalo jasa kita ini terpercaya. Seratus persen aman!"
"Yup! No tipu-tipu." Olla menggerak-gerakkan jari telunjuknya.
Setelah lulus kuliah, kami berpencar mengejar impian masing-masing. Berjuang mewujudkan cita-cita. Aku yang kini sudah berhasil menjadi chef, Rizlan yang kini berprofesi sebagai pelukis, sedangkan Olla dan Rully yang memutuskan berkarir setelah menikah, mereka kompak menjalankan bisnis Wedding Organizer.
Melenceng dari jurusan saat SMA, masuk perguruan tinggi, Olla dan Rully kompak memilih jurusan Ilmu Komunikasi dan berkarir sebagai WO—mengurus pesta pernikahan orang-orang yang membutuhkan jasa mereka.
Setelah kemarin saling bertukar kabar, Olla mengajakku berjumpa di sebuah restoran bergaya Eropa, reunian katanya. Dengan senang hati, aku tentu saja langsung menyetujui ajakannya untuk berjumpa. Sudah sangat rindu padanya. Ingin melihat secara langsung juga putra pertamanya yang dia beri nama Adelio Putra Permana.
Olla yang kini sudah menjadi seorang Ibu terlihat lebih dewasa secara alami. Tubuhnya yang dulu ramping terlihat lebih berisi sekarang. Tetapi masih terlihat sangat cantik, semakin cantik malah. Aura keibuannya memancar.
"Amma ... amma..."
Bayi mungil yang duduk di atas kereta dorong itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi seolah hendak menjangkau tangan Ibunya yang tengah asyik berbincang denganku.
"Iya, kenapa sayang?" Olla merespon panggilan putranya.
"Mii ..."
"Oh, Lio pengen mimi?"
Bocah kecil itu mengangguk dengan cara yang menggemaskan membuatku tak tahan ingin mencubit pipi gembulnya.
"Duh, Lio ... kamu udah pinter ngomong ya sekarang? Gemesin banget, sih ..." Aku masih terus menjawel pipi berlemak bayi itu saking gemasnya. Namun, bocah yang duduk disamping kananku itu hanya sibuk minum susu dari botol yang dia pegang sendiri tanpa menghiraukan cubitanku. "Udah bisa pegang botol sendiri pula. Lio pinter banget, sih ..."
"Belakangan ini Lio udah bisa ngucapin kata 'mama' atau 'papa', lho." Olla bercerita. "Dia juga udah bisa niruin kata-kata yang gue ucapin lho, Ra."
"Serius udah sepinter itu?" tanyaku takjub.