Lima dua: Penebusan

7 1 0
                                    

Di perjalanan pulang, di dalam mobil, aku menyerahkan oleh-oleh yang ku bawa dari Paris yang ku simpan dalam tas khusus.

Begitu gembira Adelio saat tangan mungilnya ku hadiahi makanan manis berupa cokelat khas Paris serta Carambars—permen karamel yang punya tekstur kenyal dan bercita rasa manis.

"Bilang apa? 'Makaci Kak Zula'." Olla yang memangku Adelio mengajarinya sopan santun dengan mengucapkan kata 'terimakasih' pada orang yang telah memberi hadiah. Namun yah, yang namanya balita tidak selalu menurut perkataan orang yang lebih dewasa.

"Padahal dia udah bisa ngucapin kata 'makasih', lho." Olla menginfokan. Aku mengulas senyuman memaklumi.

"Gapapa, namanya juga masih kecil. Kalo dia seneng, gue juga ikut seneng, La."

Aku memutar kepalaku memandang keluar jendela. Membiarkan saja kali ini Olla yang duduk di jok depan berbincang seru dengan suaminya yang asyik mengemudi.

***

"Lo duduk santai aja ya, biar gue yang masak."

"Gak perlu gue bantuin nih?"

"Gak perlu."

Aku terus berjibaku dengan wajan penggorengan. Memasakkan olahan gurita untuk tamu yang malam ini datang berkunjung setelah kepulangan ku dari Eropa.

Sejenak, ku jeda aktivitasku lalu menghela napas. Berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan Rizlan.

Untunglah sebelumnya aku telah mengompres mataku yang sembab menggunakan es batu sehingga kini kelopakku tidak terlalu terlihat memprihatinkan.

"Oya, gimana pesta ulang tahun temen lo di Paris? Lancar, kan? Atau ada masalah?"

Yang Rizlan tahu, aku pergi ke Paris untuk ikut merayakan acara pesta ulang tahun temanku. Hal ini sungguh membuatku tak enak hati karena mau tak mau harus tetap melanjutkan kebohongan ini.

"Sebenernya ada sedikit masalah, sih." Aku menoleh, memandang lurus cowok yang saat itu tengah duduk manis di atas kursi meja makan. Mengamatiku. "Bulan ini Paris kan lagi badai salju, jadi ada beberapa kendala disana. Tapi gue sama temen-temen disana nikmatin pestanya, kok. Gue bahkan sempet beli oleh-oleh buat dibawa pulang."

"Dingin banget ya disana?"

"Banget, Riz. Apalagi gue kan baru pertama kali ngerasain yang namanya musim salju. Kalo elo kan udah pernah ngerasain gimana dinginnya musim salju waktu di Jepang."

"Iya sih, emang parah banget dinginnya." Rizlan mengaminkan. "Oya, lo beli oleh-oleh apa dari Paris?"

"Ya kayak gantungan kunci sama miniatur menara Eiffel gitu."

"Buat di pajang di kamar, ya?"

"Hah? Pajang di kamar?"

Memajang benda-benda itu di dalam kamar hanya akan semakin memperparah kondisi hatiku.

Aku akan semakin dihantui bayangan bengis Rifai yang dengan kejamnya, setelah aku bicara panjang lebar bahkan meminta maaf, cowok barbar itu justru mencampakkan ku. Menuturkan bahwa tak ada satu pun hal yang ingin dia katakan padaku.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang