"Zura."
Aku menghentikan langkahku. Mendongak, menatap cowok yang menjulang tinggi tepat di hadapanku.
"Makan bareng yuk."
"Makan bareng?"
"Gua traktir."
Aku melempar sunggingan sinis.
"Kali ini hewan apa lagi yang mau lo masukin ke makanan gue?"
"Maksud lo apaan?"
"Waktu itu lo masukin kecoa ke makanan gue. Amnesia lo?!"
"Oh ..."
Cowok itu mengangguk santai dengan tampang tak berdosa.
"Inget kan lo?"
"Inget." Rifai mengangguk pasti. "Tapi kan waktu itu kecoanya gak ketelen."
"Lo beneran pengen gue mati gara-gara nelen kecoa ya?"
"Emang nelen kecoa bisa bikin orang mati?"
"Ya iyalah, badan kecoa kan penuh parasit. Hidupnya aja di tempat-tempat jorok."
"Masa, sih?"
"Ya serah lo kalo gak percaya."
Aku berjalan menghindarinya. Namun, rupanya cowok itu mengikutiku. Mensejajarkan langkahnya disebalahku.
"Kalo nelen kecoa beneran bisa bikin orang mati, ya lo cobain lah, Ra. Ntar kalo lo udah mati, kabarin gua dari kuburan."
"Gue gak bakal mati sebelum lo yang mati duluan."
"Ah gak asyik lo," ujarnya sambil mengusap kasar wajahku hingga kepalaku terdorong mundur.
"Udah sana lo pergi, gue mau belajar."
"Emang belajar bisa bikin kenyang?"
"Ya daripada gue ditraktir sama lo, mendingan gue gak makan sama sekali."
"Ya udah deh gak jadi."
"Ya udah sana pergi, jangan gangguin gue."
"Gua bakalan pergi kalo lo bisa ngalahin gua."
"Ngalahin lo?"
"Lo tau kan apa yang mesti lo lakuin?"
Aku menatapnya datar. Sedetik kemudian tersenyum sadar.
Aku tahu betul bahwa yang dimaksud Rifai dengan 'ngalahin' adalah berburu binatang.
"Oke gue ngerti. Berapa lama batas waktunya?"
"Dua puluh lima menit—"
"Oke." Ku tendang lantam tulang kering cowok itu membuatnya mengangkat salah satu kakinya dengan mulut menganga.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku mengambil langkah seribu, lari kocar-kacir meninggalkan cowok yang sepertinya kesakitan karena betisnya ku tendang.
Masa bodoh. Yang paling penting sekarang aku berlari mendahuluinya. Memburu binatang apa saja yang sekiranya bisa ku temukan di lingkungan sekolah. Kalau ada, semut rangrang pun akan ku tangkap tak peduli tubuhku gatal-gatal karenanya.
Aku tahu, aku berlaku curang. Tetapi tak apalah. Sekali-kali aku ingin menang.
Selama ini selalu saja aku yang dikalahkan olehnya.
Sesekali cowok itulah yang harus ku beri hukuman.
***
"Yes! Yes! Yes!"
Aku tak bisa berhenti menyerukan kata 'yes' sambil melompat-lompat kegirangan karena untuk pertama kalinya, aku berhasil mengumpulkan binatang jauh lebih banyak dari yang dikumpulkan Rifai.