Tiga dua: Kepastian

4 1 0
                                    

Bel tanda jam pelajaran ke-dua berdering nyaring membuatku dengan ceria kembali ke kelas. Ingin kembali menyapa Rizlan. Mungkin saja sekarang dia sudah tidak lagi badmood.


Saat aku tiba di kelas, cowok itu sudah duduk tepat di bangkunya berkutat dengan buku.

"Rizlan."

Aku menyapa saat hendak berjalan menuju bangku paling belakang. Namun, meski aku berdiri tepat di sisi bangkunya, cowok itu sedikitpun tidak mendongak. Aku benci ini. Ingin ku tampar saja dia rasanya saat ini juga.

"Selamat siang anak-anak!"

"Siang... Paakkk...!!!"

Terlambat. Belum sempat ku tampar, Pak Dandi—guru mata pelajaran Elektronika sudah keburu muncul disambut meriah siswa-siswi yang sudah duduk rapi di bangku masing-masing.

Aku membuang muka. Menahan diri untuk tidak mengamuk. Ku biarkan Rizlan bersikap jutek padaku. Segera ku langkahkan kakiku menuju bangku paling belakang. Menghampiri Olla.

"Gimana?" Olla berbisik. "Lo tadi pas istirahat ngobrol gak sama si Rizlan? Dia kenapa?"

Aku menggeleng lemah, "Gak tau. Dari tadi dia ngehindarin gue terus, La."

"Kenapa sih tuh anak? Kesambet kali, ya?" Olla menggaruk kepalanya bingung. "Ya udah lah, Ra, gak usah dipikirin tuh anak. Positive thinking aja, mungkin besok dia bakal balik jadi Rizlan yang dulu. Rizlan yang kita kenal." Aku menatap sahabatku lekat. Olla mengimbuhkan, "Rizlan yang selalu perhatian sama lo."

Aku menunduk lesu. Lagi-lagi, selama jam pelajaran berlangsung, telinga sengaja ku tulikan. Aku sungguh tak bisa fokus belajar jika sedang kalut begini. Pikiranku dipenuhi oleh makhluk introvert itu.

Di jam pelajaran ke-dua, bahkan hingga jam pelajaran terakhir pun, Rizlan terus bersikap jutek padaku. Sedikitpun dia tidak menolehkan kepalanya padaku seolah tak mengenalku.

Orang lain mungkin biasa saja melihat sikapnya seperti itu, tetapi kan beberapa bulan ini sikap Rizlan sudah jauh berbeda dengan yang dulu. Tentu saja aku merasa sangat kehilangan. Aku kehilangan sikap manisnya.

Tak bisa ku biarkan. Aku harus menemuinya. Aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku akan mengunjungi kediamannya.

Malam ini juga.

***

"Pak Renaldi tunggu disini ya, saya mau nyamperin temen saya dulu."

"Iya Non, siap!" sahut lelaki yang kira-kira berusia empat puluhan itu. Sopirku.

Ding dong ...

Ding dong ...

Aku menekan bel, berharap andai saja Rizlan yang membuka pintu, akan langsung ku gampar wajah dinginnya saking kesalnya. Dia sudah bersikap tidak wajar seharian ini. Kemana sikap manis yang biasanya?

Namun, sayangnya bukan Rizlan yang membuka pintu, tetapi Mbak Kiki.

"Oh, Non Zura ya?"

"Rizlan nya ada gak, Mbak?"

"Oh, ada Non, Den Rizlan lagi di kamar deh kayaknya."

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang