"Ra, emang bener ya kata si Olla, lo gak nganggep gua sebagai manusia?"
"Ya itu emang fakta, kan?" Aku meliriknya santai.
"Iya, sih." Rifai mengangguk setuju.
"Si tolol!" umpatku kasar. Tak habis pikir ada orang yang tidak tersinggung sedikitpun ketika tidak di anggap sebagai manusia. "Lo gak marah sama sekali gue katain gitu?"
"Nggak sih biasa aja." Rifai menggidikkan bahu. "Kan lo tau sendiri, gua rajanya Lucifer."
Untuk beberapa detik, aku menatap Rifai dengan sorot datar.
"Gue punya satu pertanyaan buat lo, Fai." Aku mengukir senyuman dibuat-buat kali ini.
"Buat gua? Apaan?"
"Waktu Tuhan lagi ngasih akal, lo kemana aja?"
"Oh waktu itu? Coba sini gua bisikin."
Aku mendekat, memberikan telingaku padanya.
"Waktu Tuhan lagi ngasih otak, kan gua lagi sama elo."
"Apa? Lo ngehina gue?"
"Memang gada otak kau!"
Ditoyornya keningku membuat tubuhku terhentak mundur nyaris menabrak pohon di belakangku.
Baru saja hendak mengamuk, aku tercekat ketika menangkap sosok sahabatku yang menyorot Rifai dengan percikan api permusuhan dari kejauhan.
Melihat hal tersebut, aku memutuskan untuk hengkang dari halaman belakang sekolah untuk kemudian menghampiri sahabat yang ku tahu pasti bahwa dia tidak tega melihatku diperlakukan dengan kasar oleh makhluk bernama Rifai.
"Eh, Fai, gue cabut dulu ya."
"Mau kabur lo?"
"Bentar lagi bel jam pelajaran ke-dua tau!" Aku beralasan.
Plak!
Di geplaknya bagian sisi kanan kepalaku membuat mulutku refleks menganga membentuk rongga besar.
"Ya udah sana!" usirnya dihiasi wajah tanpa dosa membuatku ingin membalasnya namun akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri Olla saja yang saat itu bak sudah terbakar api amarah yang membara dilihat dari sorot matanya yang sebenarnya sayu, tetapi terlihat sangat tajam jika sedang marah.
"Gue udah bilang kan, jangan deket-deket sama si Rifai lagi, dia sadis, Ra. Kemarin dia udah ngebuktiin kalo dia emang bukan manusia!"
"I-iya gue tau kok, La." Aku meringis canggung seraya mengusap kepala yang tadi di geplak Rifai. Aku mengusapnya dengan tangan kiri.
"Gue tau, gue sama si Rifai sama-sama sahabat lo. Tapi gue mohon, Ra, plis jauhin dia. Gak ada manfaatnya lo temenan sama cowok tempramen kayak dia. Yang ada lo selalu kesiksa, kan?"
"Lo masih marah sama dia?" tanyaku hati-hati.
"Ya iyalah! Gila aja lo! Ngeliat sahabat gue tangannya di injek sampe bengkak gitu siapa yang gak marah coba?!"