Dua: Peliharaan

175 2 1
                                    

"Issh, lo tuh hobi banget ya nyiksa orang!" 

Aku mengomel sesaat setelah Rifai puas mencekik leherku dari belakang. Mungkin dia pikir dia akan berhasil mengejutkanku padahal sesungguhnya yang dia lakukan adalah penyiksaan. Bukan kejutan.

Jika lazimnya orang lain akan mengejutkan kekasihnya dengan cara menutup matanya dari belakang, maka Rifai berbeda. Cowok itu mengejutkan ku dengan cara mencekik leherku hingga aku megap-megap kesulitan bernapas kemudian terbatuk kesakitan.

Baginya, menganiaya ku seperti ini merupakan hal wajar.

Cowok itu memiliki sifat sadism—senang dan menikmati ketika berbuat kasar pada orang lain.

"Huahahaha ..." Rifai tidak berhenti tertawa memamerkan semua gigi putihnya yang tersusun rapi.

"Di omelin tuh aturan mikir kek, ini malah ngakak," sinisku tak habis pikir, apanya yang kocak coba? Cowok itu selalu menertawakan hal yang bahkan tak ada lucu-lucunya sama sekali.

"Abisnya lo gemesin, sih." tuturnya dengan wajah tak berdosa.

"Dimana-mana orang 'gemes' tuh aturan diusap-usap kek, dibaik-baikin, dicubit, ini malah dicekek."

"Gua dari dulu kalo gemes ya kek gini. Kemarin aja anak kelinci depan rumah gua ceburin ke jamban gara-gara gemes."

"SINTING."

Aku mengumpat dongkol mendengar celotehannya ditambah tampang tak berdosanya itu.

"Kenapa?" kening cowok itu mengernyit heran. Dia kemudian berbisik lirih tepat di telingaku. "Bukannya nyiksa hewan itu ... 'hobi' kita ya? Lo jangan lupa, Ra, kita berdua ini~ sama."

Memangnya harus ya menekankan nada suara di bagian kata 'sama'?

Tetapi yah, cowok itu benar. Aku dan dia sama saja.

Sama kejinya.

***

Berbeda kelas, aku dan Rifai biasa menghabiskan waktu istirahat bersama dengan cara yang ... unik?

Seperti halnya saat ini.

Aku dan Rifai berlomba memburu binatang di sekitar lingkungan sekolah untuk kemudian kami kumpulkan lalu hitung. Siapakah yang paling banyak mendapat binatang maka dialah pemenangnya.

Aku dan Rifai berpencar. Berburu kesana-kemari mengumpulkan binatang yang sekiranya bisa ditemukan di lingkungan sekolah.

Tepat dibawah pohon rambutan, ku tangkap seekor binatang kaki seribu berukuran kecil lalu memasukkannya ke dalam toples yang sengaja ku bawa dari rumah.

"Yes! Dapet satu!" seruku gembira.

Aku kembali berkeliling di sekitar taman halaman sekolah berharap menemukan binatang yang sekiranya mudah ditangkap.

Di detik-detik waktu yang hampir habis, ku temukan seekor laba-laba berukuran sedang yang tengah asyik berteduh di atas jaring-jaring yang diciptakannya di sebuah pohon jambu air.

Tanpa pikir panjang, ku tangkap makhluk tersebut menggunakan tangan lincahku yang memang tak sungkan untuk memegang binatang jenis apapun.

Aku melirik arloji tengkorak yang terpasang di pergelangan tanganku.

Waktu sudah berlalu dua puluh lima menit.

Aku berlari sekuat tenaga menuju belakang gedung sekolah yang menjadi basecamp—tempat biasa aku dan Rifai menghitung binatang hasil perburuan kami.

Kebetulan, di belakang gedung sekolah terdapat jurang yang tidak terlalu curam.

Nah, jurang itulah yang kami jadikan basecamp.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang