Hari ini aku datang lebih awal karena ada tugas piket.
Setelah selesai menyapu, aku berniat untuk mengepel lantai kelas, tetapi sebelum itu aku memutuskan untuk buang air kecil terlebih dahulu.
Baru saja hendak keluar, terdengar ada suara dua orang cewek yang tengah asyik mengobrol.
Ku intip sedikit dari bilik kamar mandi, ternyata dua orang itu adalah Silvina dan Tyas. Setelah absen selama beberapa hari, akhirnya hari ini Silvina muncul ditemani rekan sebangkunya sekaligus sahabat yang selalu bersamanya.
Melihatnya muncul, aku memutuskan bersembunyi untuk mencuri dengar, menguping pembicaraan diantara mereka.
"Sil, udah hampir sepuluh kali gue mergokin lo mau bunuh diri," aku Tyas. "Lo beneran gak mau ke psikiater aja?"
"Nggak perlu, Yas, gue sekarang udah baik-baik aja, kok." Silvina mengulas senyuman tipis.
Untuk pertama kalinya cewek pemurung itu hari ini tersenyum. Meski hanya sunggingan tipis.
"Lo yakin?" Tyas tampak cemas.
Silvina mendongak, meluruskan pandangannya menatap cermin besar di hadapannya, menghela napas panjang, kemudian kembali mengukir senyuman tipis.
"Akhir-akhir ini Om Erul udah gak pernah kurang ajar lagi sama gue. Gue gak tau apa alasannya, tapi semenjak kecelakaan Om Erul jadi lebih jaga jarak dari gue. Tiap ngeliat gue, dia jadi orang yang ketakutan kayak ngeliat hantu gitu."
"Cowok gila itu kecelakaan?" kernyit Tyas.
"Katanya sih waktu pulang kerja, karena ngantuk, mobilnya nabrak pohon. Tapi daripada kecelakaan, dia lebih keliatan kayak orang yang abis dipukulin. Mukanya bonyok parah, kepalanya dipenuhin darah, gue aja ngeri ngeliatnya."
Aku terbelalak kaget serta gugup karena tanpa mereka ketahui, sebenarnya yang menciptakan luka di tubuh Ayah tirinya Silvina itu pelakunya ada disini.
"Kayaknya dia bohong deh, pasti bukan karena luka kecelakaan." Tyas menerka-nerka.
"Gue juga gak tau sih, tapi dia keliatan kayak orang yang abis dikeroyok gitu." Silvina menunduk sendu kali ini.
"Lo kenapa? Kok malah keliatan sedih gitu, sih? Seharusnya lo seneng dong ngeliat cowok gila itu babak belur kayak gitu? Gue sumpahin biar mampus aja tuh orang!"
"Masalahnya, Ibu gue yang gak seneng. Ibu gue yang gak tau apa-apa jadi sering nangis ngeliat kondisi Om Erul. Apalagi pas tau kalo kepalanya dapet belasan jahitan. Gue paling gak tahan kalo ngeliat Ibu gue sedih, Yas."
Tyas mendelik sinis, "Lo gak mau ngeliat Ibu lo sedih tapi lo gak mikirin kalo selama ini lo udah menderita demi liat dia bahagia."
"Gue tau kok, seharusnya gue lapor polisi, tapi selain gak mau ngeliat Ibu sedih, gue juga gak mau seluruh dunia tau tentang apa yang terjadi sama gue, Yas. Gue malu banget. Gue gak bisa bayangin, Ibu pasti sakit hati banget. Bukan cuma sakit, dia pasti ngerasa hancur banget."
"Tapi kan lo harus dapet keadilan, Sil!" Tyas menggebu-gebu.
"Gapapa kok, Yas. Selama Om Erul gak macem-macem, selama gue bisa ngejaga perasaan Ibu, gue baik-baik aja kok, lo gak perlu khawatir."